LIPUTAN KHUSUS:

Masyarakat Sipil Tetap Kritisi Ratifikasi Terbaru dari IE-CEPA


Penulis : Kennial Laia

Hasil referendum hanya berupa kemenangan tipis lantaran prediksi kemenangan sebelumnya lebih besar di angka lebih dari 70 persen.

Sawit

Rabu, 10 Maret 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Ratifikasi perjanjian dagang antara Pemerintah Indonesia dan Swiss melalui skema kemitraan European Free Trade Association (IE-CEPA) dianggap dapat membuka pasar alternatif bagi produk sawit tidak berkelanjutan serta meningkatkan emisi karbon.

Hal itu menyusul pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto. Menteri Airlangga menyatakan, ratifikasi tersebut menunjukkan pengakuan internasional terhadap komitmen Indonesia dalam menerapkan prinsip berkelanjutan khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit. Dari referendum yang digelar Ahad lalu, sebenyak 51,6 persen penduduk Swiss setuju untuk meratifikasi perjanjian dagang. Menurut Menteri Airlangga, hasil tersebut mencerminkan penolakan dari penduduk Swiss terhadap kampanye negatif kelapa sawit. 

Perjanjian IE-CEPA merupakan kemitraan ekonomi komprehensif yang ditandatangani oleh Indonesia bersama empat negara anggotanya pada 2018 lalu, yakni Swiss, Islandia, Norwegia, dan Liechtenstein. Swiss menjadi negara ketiga yang meratifikasi, setelah Norwegia dan Islandia. Dengan skema tersebut, pemerintah Swiss akan mengurangi tarif masuk komoditas kelapa sawit Indonesia di angka 20-40 persen. Bebas tarif itu berlaku untuk lebih dari 12,500 ton CPO per tahun yang telah memenuhi prinsip keberlanjutan dari Indonesia. 

Peneliti GRAIN untuk program Asia Kartini Samon mengatakan, hasil referendum tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kepedulian terhadap masalah lingkungan dan hak asasi manusia dari perkebunan kelapa sawit dari publik dan parlemen di Swiss.

Ilustrasi industri kelapa sawit. Foto: Istimewa

Refleksi dengan kelompok masyarakat sipil Swiss menyimpulkan, hasil referendum itu merupakan kemenangan tipis lantaran prediksi kemenangan sebelumnya lebih besar di angka lebih dari 70 persen. Hasil itu pun, kata Kartini, menunjukkan perspektif masyarakat internasional yang menyadari produksi sawit Indonesia masih jauh dari prinsip berkelanjutan.

“Sementara itu, peningkatan ekspor sawit ke Swiss berpotensi meningkatkan emisi karbon Indonesia dari perdagangan sawit,” kata Kartini kepada Betahita, Selasa, 9 Maret 2021.

Kartini mengatakan, hal itu yang membuat pemerintah Swiss menetapkan standar keberlanjutan yang cukup ketat bagi ekspor produk sawit Indonesia. Saat ini produk sawit Indonesia yang bebas tarif masuk pasar Swiss berkisar 12,500 ton per tahun.

“Angka tersebut sangat kecil dibandingkan dengan jumlah ekspor sawit Indonesia yang rata-rata mencapai 2,5-3 juta ton per bulan,” kata Kartini.

Peneliti dari Direktorat Sawit Yayasan Auriga Nusantara Ramada Febrian mengatakan, ratifikasi perjanjian dagang tersebut dapat membuka pasar bagi sawit yang tidak berkelanjutan, khususnya dari kebun sawit yang erat dengan masalah lingkungan, konflik sosial, dan agraria.

Ramada menjelaskan, saat ini beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit telah mendapatkan sertifikat ISPO maupun RSPO, namun jumlahnya sangat sedikit. Dari total luas 16 juta hektare, yang telah tersertifikasi ISPO hanya sekitar 25-30 persen. Sementara itu, hanya sekitar 10-15 persen yang telah mendapat sertifikasi RSPO.

Menurut Rian, negara anggota EFTA harus tegas dalam memilah minyak kelapa sawit yang masuk ke wilayahnya. “Agar minyak sawit yang masuk ke sana benar-benar bebas dari isu lingkungan dan HAM,” ujarnya.