
LIPUTAN KHUSUS:
Aktivis Geruduk Kedubes Jepang dan Korsel: Biomassa Solusi Hitam
Penulis : Aryo Bhawono
Biomassa untuk Jepang dan Korea Selatan melahap hutan alam Indonesia.
Hutan
Selasa, 21 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Para aktivis lingkungan menggelar aksi damai di depan kantor Kedutaan Besar Jepang dan Korea Selatan di Jakarta atas penggunaan wood pellet pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di kedua negara itu. Aksi ini merupakan bagian dari gerakan solidaritas global di berbagai negara untuk menentang kebijakan pemanfaatan energi berbahan baku biomassa.
Koordinator Aksi dari Forest Watch Indonesia (FWI), Tsabit Khairul Auni, menyoroti dampak serius impor pelet kayu (wood pellet) oleh kedua negara tersebut dari Indonesia, yang dinilai mempercepat kerusakan hutan alam dan bertentangan dengan prinsip keadilan iklim.
“Hutan Indonesia bukan bahan bakar kalian, wahai warga Jepang dan Korea. Setop impor wood pellet dari Indonesia dan hentikan pengrusakan hutan di negara Indonesia,” kata Tsabit dalam aksi di muka Kedutaan Jepang, Jl. MH Thamrin, Jakarta, 20 Oktober 2025.
Pada kurun waktu 5 tahun terakhir, Jepang dan Korea Selatan gencar mengimpor wood pellet dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari strategi transisi energi kedua negara maju tersebut. Hal ini menjadi tekanan luar biasa bagi situasi hutan di Indonesia dan memperparah deforestasi, degradasi hutan, dan pelepasan emisi karbon dalam skala besar.

Sebagai hutan terluas ketiga di dunia dan wilayah tiga zona waktu dengan keanekaragaman hayati terkaya di bumi, hutan Indonesia tidak mampu dan tidak etis digunakan untuk memenuhi lonjakan permintaan biomassa. Setidaknya lebih dari 40 juta hektar hutan alam terancam hilang oleh berbagai macam proyek.
“Pemanfaatan wood pellet biomassa oleh Jepang dan Korea Selatan yang berasal dari Indonesia sudah keluar dari prinsip transisi energi berkeadilan,” katanya.
Impor wood pellet yang diduga ilegal, pada Agustus 2024 lalu, tertangkap oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla). Hasil pemeriksaan awal, diketahui bahwa MV Lakas merupakan kapal berbendera Filipina pengangkut 10.545 metrik ton wood pellet yang tidak memiliki beberapa dokumen penting seperti Certificate of Analysis, Certificate of Origin, serta Certificate of Shipper Declaration yang diperlukan untuk pengangkutan barang berbahaya berdasarkan IMSBC.
Penangkapan tersebut terjadi berdasarkan laporan dari Forest Watch Indonesia (FWI), selanjutnya ditindaklanjuti oleh Zona Bakamla Tengah yang bekerjasama dengan Pangkalan TNI Angkatan Laut Gorontalo dan didukung masyarakat Gorontalo.
Ia mengatakan aksi yang digelar merupakan peringatan keras bagi kedua negara karena telah berkontribusi dalam pengrusakan hutan alam tersisa di Indonesia. Sejak 1980-an, Indonesia dan Jepang bekerja sama dalam proyek-proyek biomassa. Tahun 2020, Kementerian ESDM dan PLN meluncurkan rencana co-firing biomassa di 52 PLTU batubara.
Salah satu industri Jepang, yakni Mitsubishi Heavy Industries melakukan MoU dan studi kelayakan Cofiring di Indonesia. Jepang dan Amerika Serikat juga membentuk Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk memobilisasi USD 20 miliar dana publik dan swasta, dengan target co-firing 5–10 persen batubara 2030–2050. Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export and Investment Insurance (NEXI) memberi dukungan finansial dalam protokol cofiring PLN.
Selain itu, Sumitomo Heavy Industries (SHI), Ishikawajima-Harima Heavy Industries (IHI), telah mendorong co-firing biomassa di unit pembangkit. Kesepakatan impor ratusan ribu ton biomassa dari Indonesia ke Jepang, senilai triliunan rupiah. Investor Jepang Tokuyama Industry juga telah memeriksa kesiapan infrastruktur di Mukomuko, Bengkulu, untuk pembangunan pembangkit biomassa. Vietnam, Thailand, dan Kamboja pun mengalami nasib serupa.
Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga menyebutkan hasil investigasi tim FWI menunjukkan lebih dari 80 persen impor wood pellet oleh dua negara tersebut berasal dari deforestasi hutan alam. Bukan dari hasil rehabilitasi..
Indonesia termasuk Jepang dan Korea Selatan harus mengeluarkan biomassa (wood pellet beserta turunan kayu olahan lainnya), dari strategi transisi energi dan agenda iklim. Praktiknya tidak adil, karena di negara-negara pengimpor emisinya dihitung nol atau mendekati nol.
“Sementara di negara produsen seperti Indonesia menjadi sumber emisi di sektor hutan dan penggunaan lahan karena berasal dari deforestasi,” kata Anggi.
Gelaran aksi serupa juga dilaksanakan secara masif di negara-negara lain seperti Eropa, Asia Timur, Amerika Latin, Oseania, dan Asia Pacific. Bertepatan dengan International Day of Action Biomass yang jatuh setiap tanggal 21 Oktober, organisasi-organisasi masyarakat sipil yang tergabung ke dalam aliansi Biomass Action Network (BAN) menyerukan hal yang sama untuk menghentikan praktik pengrusakan hutan oleh narasi transisi energi dan iklim.
Satrio Manggala dari Biomass Action Network menyebutkan kampanye ini didukung oleh masyarakat global yang bersepakat menolak pembakaran biomassa yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan.
“Seruan global meminta agar cabut subsidi biomassa dan jalankan transisi energi yang berkeadilan,” ucap dia.
Mereka pun mendesak Pemerintah Jepang dan Korea Selatan untuk menghentikan impor wood pellet dari Indonesia yang merusak hutan dan melanggar prinsip berkeadilan, serta mencabut subsidi energi berbasis biomassa.
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Kehutanan harus segera mengeluarkan biomassa dari kerangka pengurangan emisi dan agenda transisi energi.
Mereka juga berharap publik internasional tidak terjebak pada narasi palsu bahwa biomassa kayu adalah energi hijau.
Satrio menekankan bahwa pemanfaatan wood pellet di Jepang dan Korea Selatan bukanlah solusi energi bersih, melainkan bentuk kolonialisme iklim berkedok transisi energi yang mengorbankan hutan Indonesia.
“Kami menuntut agar kedua negara segera menghentikan praktik ini dan beralih pada energi terbarukan yang benar-benar bersih, meninggalkan batu bara dan tidak merusak ekosistem di belahan bumi manapun,” kata Satrio.