LIPUTAN KHUSUS:

Aturan Waste to Energy Dinilai Tidak Efek Atasi Sampah


Penulis : Kennial Laia

Pemerintah didorong untuk mengalihkan investasi ke upaya lain untuk mengatasi sampah perkotaan, termasuk pemilahan sampah dan pembangunan infrastruktur reuse and refill.

Sampah

Minggu, 19 Oktober 2025

Editor : Aryo Bhawono

BETAHITA.ID -  Presiden Prabowo Subianto menerbitkan aturan terkait pengolahan sampah perkotaan menjadi listrik. Kebijakan ini dinilai tidak efektif mengatasi krisis sampah. 

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan diteken Presiden Prabowo Subianto pada 10 Oktober 2025. Aturan tersebut berencana membangun waste to energy (WTE) di 34 kabupaten/kota di area dengan volume sampah minimal 1.000 ton per hari, termasuk di Bantar Gebang, Bekasi. 

Waste to energy atau WTE merupakan teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik atau panas sekaligus mengurangi volume sampah. Metodenya beragam, termasuk dengan pembakaran (insinerasi) dan gasifikasi. 

Aturan tersebut disebut sebagai respons terhadap timbulan sampah di Indonesia, yang mencapai 56,63 juta ton per tahun pada 2023. Di sisi lain pengelolaan sampah nasional pada tahun yang sampai berada di angka 39,01 persen. Artinya, terdapat 60,99 persen sampah lainnya, yang dikelola dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping). 

Tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat. Foto: Istimewa.

Waste to energy adalah solusi palsu yang tidak akan efektif mengatasi krisis sampah, karena solusi yang dibutuhkan adalah pemilahan di sumber penghasil sampah,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Daru Setyorini. 

“Pembakaran sampah plastik untuk energi sama saja membakar bahan bakar fosil yang merupakan energi kotor penghasil emisi karbon, dan waste to energy akan menimbulkan bau, melepas emisi beracun terutama dioksin dan furan, mikroplastik serta logam berat,” kata Daru. 

Dioksin dan furan diketahui memicu kanker, gangguan hormon, serta cacat janin. Daru mengatakan, emisi racun ini dapat mencemari udara, tanah, sumber air, dan rantai pangan yang terakumulasi di lingkungan dan meracuni masyarakat di sekitar lokasi WTE. 

Daru mengatakan, WTE juga akan membebani APBN dan APBD karena berbiaya sangat tinggi. Dia mencontohkan pengelolaan sampah TPA Benowo di Surabaya, yang memiliki sistem WTE namun belum mampu mencapai target 1.000 ton sampah per hari dan produksi listrik sesuai target. 

Hal serupa terjadi TPA Bantar Gebang, Bekasi, yang memiliki teknologi WTE. Daru menilai, tempat pengolahan sampah Jakarta ini tidak beroperasi optimal karena berbagai kendala teknis dan berbiaya tinggi. Penanganan abu terbang insinerator juga menambah beban biaya operasional WTE karena limbah ini masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) yang membutuhkan penanganan khusus. 

“Pemantauan dioksin pada emisi insinerator juga harus dilakukan secara berkala, minimal enam bulan sekali, namun laboratorium uji dioksin sangat terbatas dan mahal,” kata Daru. 

Solusi sampah perkotaan

Daru mendorong pemerintah untuk mengalihkan anggaran investasi WTE ke upaya pembatasan timbulan sampah yang lebih efektif. Ini termasuk penyediaan infrastruktur yang mendukung sistem penggunaan kembali dan isi ulang (reuse and refill), seperti penyediaan isi ulang air minum di ruang publik, pelarangan kemasan air minum dalam kemasan di bawah 1 liter, serta penegakan aturan daerah untuk membatasi plastik secara nasional. 

“Perlu membuat regulasi yang tegas untuk mewajibkan semua orang penghasil sampah untuk memilah sampah organik serta mewajibkan pemerintah desa membangun dan menjalankan pelayanan pengumpulan terpilah dan pengolahan organik di setiap desa atau kelurahan,” kata Daru. 

“Penegakan hukum pada industri agar menjalankan extended producer responsibility dengan melarang kemasan saset dan menyediakan kios isi ulang menggunakan kemasan yg dapat diguna ulang,” katanya. 

Daru mengatakan, instansi pemerintah perlu menjadi contoh dengan konsisten menerapkan pembatasan plastik, terutama plastik sekali pakai, tas kresek, sedotan, alat makan plastik, dan saset serta membudayakan rapat instansi tanpa suguhan makanan dan minuman kemasan plastik. 

“Pengolahan sampah sentralistik sangat mahal. Yang diperlukan adalah membagi beban pengolahan sampah ke masyarakat dan sumber penghasil sampah, yang dilaksanakan oleh pemerintah terkecil level desa atau kelurahan, dan kawasan sentra bisnis, pendidikan dan perkantoran,” kata Daru.