
LIPUTAN KHUSUS:
Walhi Tolak 481 Ribu Ha Hutan di Papua Dijadikan Kawasan Pangan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Walhi mendesak agar rencana pembukaan 481 ribu hektare hutan di Papua untuk kawasan pangan nasional dihentikan.
Hutan
Selasa, 23 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua mengecam keras pernyataan Menteri Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan, yang mengungkapkan bahwa 481.000 hektare hutan di Papua telah disiapkan untuk dijadikan kawasan swasembada pangan, air, dan energi nasional.
Direktur Walhi Papua, Maikel Peuki, menilai pernyataan ini berbahaya karena mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan risiko ekologis dari pembukaan hutan dalam skala masif. Ia menegaskan bahwa Tanah Papua bukan tanah kosong.
“Ada pemiliknya, ada sejarahnya, dan ada hukum adat yang mengatur pengelolaan hutan. Mengubah fungsi 481.000 hektare hutan tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat adat adalah bentuk perampasan ruang hidup,” kata Maikel, dalam sebuah rilis, Jumat (19/9/2025).
Menurut Walhi Papua, kebijakan yang dilakukan tanpa dialog berpotensi memicu konflik agraria, mempercepat krisis iklim, dan menghancurkan sistem pangan lokal yang sudah ada. Walhi Papua mengingatkan bahwa Papua saat ini sedang menghadapi ancaman deforestasi serius.

Sepanjang 2022 hingga 2023, lebih dari 552 ribu hektare hutan hilang di Papua, atau sekitar 70% dari total deforestasi nasional. Deforestasi 2023: Tanah Papua kehilangan 55.981 hektare hutan alam, dengan Papua Selatan sebagai penyumbang terbesar (12.640 hektare).
“Deforestasi Januari-Februari 2024 Pusat Pemantauan Pusaka mencatat 765,71 hektare hutan hilang hanya dalam dua bulan pertama 2024. Tren 30 tahun, sejak 1992–2022, Papua kehilangan tutupan hutan primer 688 ribu hektare,” ujar Maikel.
Kondisi ini, lanjut Maikel, membuat Walhi Papua mempertanyakan urgensi pembukaan hutan baru untuk pangan nasional, sementara data menunjukkan kerusakan hutan terus meningkat dan belum ada evaluasi menyeluruh terhadap dampaknya.
Walhi Papua menilai konversi hutan skala besar seperti ini akan menimbulkan kehilangan sumber pangan lokal. Karena masyarakat adat menggantungkan hidup pada sagu, hasil hutan, dan perikanan tradisional. Selain itu, juga akan menyebabkan konflik agraria, yang mana tanpa persetujuan masyarakat adat, proyek akan memicu konflik horizontal maupun vertikal.
Konversi hutan tentu saja juga mengakibatkan kerusakan ekosistem. Merauke dan kawasan hutan Papua adalah habitat satwa endemik seperti kasuari, kanguru pohon, dan cendrawasih. Tak hanya itu, hilangnya hutan primer akan meningkatkan emisi karbon dan memperburuk perubahan iklim global.
Walhi Papua menegaskan bahwa pemerintah harus mematuhi Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang isinya menyatakan negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, menjamin perlindungan hak ulayat, dan prinsip FPIC (free, prior, and informed consent) yang diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat adat dari perampasan tanah.
“Pemerintah pusat wajib melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Amdal secara transparan, serta memastikan keterlibatan masyarakat adat dari awal. Jangan sampai kebijakan ini menjadi babak baru perampasan tanah adat di Papua,” ucap Maikel.
Walhi Papua menyerukan agar rencana pembukaan 481.000 hektare hutan di Papua, sampai ada proses partisipatif yang sah, dan mempublikasikan peta spasial dan status lahan agar masyarakat mengetahui lokasi yang akan dikonversi.
Walhi juga meminta agar pemerintah melibatkan masyarakat adat secara penuh melalui mekanisme FPIC sebelum ada kebijakan pembangunan di wilayah adat, dan evaluasi proyek pangan skala besar yang sudah ada, seperti di Merauke, untuk mengukur dampak sosial-lingkungan sebelum menambah luasan baru.
Walhi Papua mengajak media, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah untuk bersama-sama mengawal kebijakan ini agar hutan Papua tetap lestari dan hak masyarakat adat tidak dilanggar.
“Kita tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan harus berkeadilan, menghormati hak adat, dan menjaga kelestarian hutan sebagai penyangga kehidupan,” ucap Maikel.