LIPUTAN KHUSUS:

Operasi Merah Putih Badak Jawa: Berpacu dengan Perkawinan Sedarah


Penulis : Kennial Laia

Upaya translokasi badak jawa telah dimulai. Harapan untuk penyelamatan populasi yang mengalami inbreeding depression.

SOROT

Senin, 22 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Taman Nasional Ujung Kulon dalam mode siaga penuh. Kawasan yang berada di ujung barat Pulau Jawa tersebut sedang dalam misi penting: translokasi atau pemindahan badak jawa, salah satu spesies paling terancam punah di planet bumi. Mereka akan dipindahkan ke pusat penangkaran untuk konservasi badak jawa. “Kita di tim teknis dan mitra sudah siap dengan seluruh peralatan dan persiapan di lapangan,” kata Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Ardi Andono dalam percakapan telepon kepada Betahita akhir Agustus lalu. 

Di Indonesia, badak jawa (Rhinoceros sondaicus) secara historis tersebar dari pulau Jawa, Sumatra, hingga Kalimantan. Perburuan masif, pengurangan habitat, hingga penyakit sejak zaman pemerintah kolonial Belanda berkontribusi besar pada pengurangan populasi mereka. Kini satu-satunya habitat spesies ini terkonsentrasi di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, yang menempati sekitar 32.000 hektare area dari luas total 122.956 hektare kawasan tersebut. Menurut data resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022), populasinya sekitar 75 individu, yang tersebar dalam kantong-kantong kecil. 

Populasi kecil dan terfragmentasi ini kemudian meningkatkan risiko perkawinan sedarah antar badak (inbreeding depression), dengan tingkat 58,5 persen. Menurut catatan Ardi, susunan genetik atau DNA badak jawa yang ada di kawasan itu tersisa dua saja, yakni haplotipe-1 dan haplotipe-2, dengan haplotipe-1 mendominasi hingga 70 persen dari total populasi. 

“Jadi DNA-nya itu depresi. Sekarang ancaman yang ada di depan mata itu (masalah) DNA, dan yang kedua adalah jumlah anakan yang menurun setiap tahun,” kata Ardi. 

Badak jawa berendam di habitatnya di Taman Nasional Ujung Kulon. Dok. Stephen Belcher via International Rhino Foundation

Menurut Ardi, dampak dari fenomena inbreeding depression ini terlihat dari adanya ciri cacat bawaan pada anakan badak yang lahir di kawasan tersebut. Ardi mengatakan, saat ini data menunjukkan keberadaan 13 ekor anakan dengan cacat pada tubuhnya. Dokumen yang diperoleh Betahita menunjukkan cacat ini di antaranya terdapat pada telinga, ekor, serta adanya bentuk tidak normal pada bagian-bagian tubuh badak.

Adapun dampak lain dari depresi tersebut adalah tingginya angka kemandulan pada badak betina, yakni 55% dari total jumlah badak betina di Ujung Kulon, atau sekitar 10 individu. Ini menyebabkan tingkat kelahiran yang rendah selama 20 tahun terakhir, yakni tiga anakan per tahun. 

Dari sekian banyak ancaman pada keberlangsungan badak jawa, ada faktor seperti perburuan, persaingan pakan, bencana tsunami, dan risiko penyakit. Namun faktor alaminya tidak kalah mengancam: analisis kelangsungan populasi badak jawa memperkirakan spesies pemalu ini dapat punah dalam waktu kurang dari 50 tahun tanpa adanya intervensi nyata. 

Menurut Ardi, hal ini juga disumbang oleh sejumlah faktor perilaku alami badak itu sendiri. Ini termasuk lamanya durasi kehamilan (16 bulan) serta masa sapih dua tahun. Jika ingin kawin, badak betina dan jantan harus berkelahi terlebih dulu. Jika pejantan kalah, betinanya tidak bersedia kawin. Ada pun risiko tidak hamil itu dapat berujung pada tumor ataupun kista. 

“Ini adalah problem alami yang harus dihadapi, terlepas dari faktor perburuan ataupun bencana tsunami,” kata Ardi. 

“Artinya, di luar faktor perburuan atau bencana tsunami, badak jawa tetap punah kalau tidak ada intervensi manusia. Hal ini sudah tercatat pada jurnal ilmiah,” ujarnya. 

Induk badak jawa bersama anaknya terdeteksi di kamera jebak di Taman Nasional Ujung Kulon. Dok. KLHK

*

Pada akhir Agustus 2025, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup resmi meluncurkan program translokasi badak jawa, dengan nama “Operasi Merah Putih”. Timnya sendiri merupakan gabungan dari Ditjen KSDAE, Kementerian Kehutanan, mitra organisasi masyarakat sipil bidang konservasi badak, dokter hewan, akademisi, peneliti, masyarakat, serta TNI. 

Dalam pernyataan resmi Agustus  lalu, Direktur Jenderal KSDAE Satyawan Pudyatmoko mengatakan bahwa seluruh tahapan translokasi dilakukan dengan standar internasional dan prinsip kesejahteraan satwa. 

“Keselamatan badak jawa adalah prioritas utama,” katanya. 

Menurut Satyawan, translokasi tersebut telah disiapkan dengan hati-hati selama bertahun-tahun. Sejumlah tahapan telah dilalui, termasuk persiapan lapangan seperti survei populasi, pemetaan habitat, pembangunan fasilitas perangkap aman, kandang sementara atau boma, hingga akses logistik. Tahapan lainnya adalah pemilihan individu, transportasi, serta pelepasan dan monitoring badak jawa di Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA). 

JRSCA dibangun dan didesain untuk konservasi badak jawa, dan notabene masih berada di dalam kawasan taman nasional Ujung Kulon, tepatnya di Desa Ujungjaya, Pandeglang. Luasnya mencapai 5.100 hektare, serta dikelilingi pagar pengaman dan dilengkapi sejumlah fasilitas untuk penangkaran dan studi satwa tersebut. 

Ardi mengatakan, persiapan teknis untuk translokasi tersebut telah dilakukan, mulai dari persiapan peralatan dan infrastruktur (seperti perangkap jebak atau pit trap), tim lapangan, tim dokter hewan, hingga kapal marinir TNI yang akan digunakan untuk mengangkut badak dari area timur kawasan ke JRSCA yang berlokasi di sebelah barat taman nasional. 

“Kalau badak jawa sudah masuk pit trap, kita punya waktu 36 jam memindahkannya ke JRSCA. Kita akan memakai kapal marinir TNI untuk mempercepat proses evakuasinya, yang bisa segera mengangkut dengan kapasitas beban lima ton,” kata Ardi. 

“Kapal akan melipir pantai sepanjang 15 kilometer. Kita sudah melakukan dua kali survei, untuk karangnya tidak akan rusak, karena karangnya sudah mati saat tsunami tahun 2018 lalu, dan kapalnya sendiri mengapung, tidak mengenai dasar laut,” kata Ardi. 

Simulasi translokasi badak jawa dilakukan dari Semenanjung Ujung Kulon menuju JRSCA yang terletak di Desa Ujungjaya, Pandeglang, Banten. Dok. KLH

Ardi mengatakan tim juga telah menyiapkan etik, prosedur, serta mitigasi risiko translokasi yang aman, termasuk melibatkan ahli dari Italia dan Jerman. “Risiko sudah dihitung,” katanya. 

Senior Manajer Program Yayasan Badak Indonesia (YABI) Arief Rubianto mengatakan, persiapan infrastruktur dan logistik di lapangan 99% siap. YABI adalah salah satu mitra organisasi masyarakat sipil yang terlibat penuh dalam upaya translokasi itu. “Tim akan melakukan satu kali simulasi lalu aktivasi di lapangan akan dimulai,” kata Arief. 

Arief mengatakan pihaknya optimistis upaya translokasi tersebut akan membuahkan hasil positif. 

“Kami optimistis upaya ini berhasil, mulai dari translokasi, breeding, dan juga untuk second habitat ke depannya,” ujarnya.

Ini adalah upaya translokasi badak jawa yang pertama kali dilakukan di dunia. Namun sebelumnya, upaya translokasi badak berhasil dilakukan pada sepasang badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) di Taman Nasional Way Kambas ke Suaka Rhino Sumatra di Lampung; serta badak kalimantan (Dicerorhinus sumatrensis harrisoni) ke Suaka Badak Kelian di Kutai Barat, Kalimantan Timur. 

Foto udara JRSCA di Taman Nasional Ujung Kulon, Desa Ujungjaya, Pandeglang. Dok. Auriga Nusantara

Badak Desi dan Musofa jadi harapan

Sebagai tahap awal, ada dua badak yang akan dipindahkan ke JRSCA. Mereka bernama Desi dan Musofa.  

Ardi mengatakan, sebelum memilih kedua badak tersebut, tim ilmuwan dan ahli badak telah melakukan analisis dan pemodelan perkawinan untuk menghasilkan anakan yang sehat, serta pengecekan DNA terhadap puluhan badak di taman nasional tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk program penangkaran tersebut, betina harus berasal dari DNA haplotipe-2 karena memiliki tingkat perkawinan sedarah yang rendah dan jantannya harus berasal dari haplotipe-1. 

Dari pemodelan tersebut, tim kemudian melakukan pengamatan terhadap individu badak hingga berujung pada Desi dan Musofa. Desi tercatat telah melahirkan dua kali dengan anakan yang tidak cacat. Sedangkan di wilayah jelajah (homerange) Musofa, tim mengidentifikasi terdapat banyak anakan. Artinya, Musofa merupakan pejantan produktif. 

“Keduanya (red: Desi dan Musofa) memiliki genetik paling bagus atau unggul dan terbukti tidak mandul,” kata Ardi. 

Jika upaya translokasi itu berhasil, Desi dan Musofa akan tinggal di dalam kandang (paddock) seluas 40 hektare yang telah disiapkan di JRSCA yang telah dipagari. Area itu sendiri terbagi menjadi empat kompartemen dengan luas masing-masing 10 hektare. Adapun paddock pengembangan memiliki luas 25 hektare. Area ini juga dilengkapi dengan kamera jebak dan sistem pelacakan satelit untuk monitoring pergerakan badak. 

Arief mengatakan, penempatan Desi dan Musofa di fasilitas pengembangbiakan (breeding) di JRSCA bertujuan untuk membuat basis data dahulu. Sebelum masuk ke tahap perkembangbiakan pun, ada sejumlah langkah penting yang akan dilakukan seperti husbandry, pakan, pengamatan siklus birahi, baru masuk ke intensive breeding. “Diutamakan kawin alami, karena ini badak produktif. Baru dari situ dilanjutkan dengan langkah-langkah selanjutnya,” kata Arief. 

Menurut Ardi, di masa depan, jika Desi dan Musofa berhasil dikawinkan dan menghasilkan keturunan, anakan badak itu akan dilepaskan ke alam liar dengan harapan dapat memperkaya genetik badak jawa yang saat ini mulai seragam di habitatnya.  

Dosen di Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi IPB University, Muhammad Agil mengatakan upaya translokasi ini adalah awal dari proses panjang ke depannya dalam menyelamatkan populasi badak jawa. Pasalnya, upaya ini tidak hanya akan terhenti di program pengembangbiakan, tetapi juga penelitian ilmiah, termasuk pengembangan teknologi reproduksi berbantu (ART) dan biobanking, yang melibatkan proses seperti pengumpulan dan penyimpanan sampel biologis badak jawa.

“Di sini kita mengoleksi material biologi dan genetik, kemudian disimpan dan diproses untuk menghasilkan embrio dan ke depan bisa menghasilkan badak jawa baru,” kata Agil. 

Agil mengatakan, jika berhasil, translokasi badak jawa akan menjadi batu loncatan yang sangat krusial dalam studi spesies tersebut. “Ini stepping stone yang sangat penting, karena sama sekali tidak ada informasi tentang reproduksi dan geologi badak jawa di dunia,” kata Agil. 

“Kita belum pernah ada pengalaman biologi fisiologi dan reproduksi badak jawa. Dengan adanya translokasi ke JRSCA, harapannya kita bisa mempelajarinya dan bagaimana kita bisa kembangbiakkan secara alami,” kata Agil. 

Rencana penelitian dan konservasi itu, kata Agil, menyimpan cita-cita untuk melanjutkan keberlangsungan badak jawa. Hal itu telah dimulai, dengan adanya temuan haplotipe baru dari kerangka badak jawa yang tersimpan di Museum Zoologi Bogor. 

“Kami sudah memastikan, kerangka badak jawa di museum itu memiliki haplotipe-3. Artinya ini modal untuk pengayaan genetik badak jawa ke depan,” kata Agil. 

Dalam kick-off meeting Agustus lalu, apa yang disampaikan Agil terangkum dalam pernyataan Wakil Menteri Kehutanan Sulaiman Umar Siddiq: “Ini bukan sekadar memindahkan badak, tetapi usaha kolektif menyelamatkan masa depan spesies yang sudah di ambang kepunahan.” 

Dok. KLHK