
LIPUTAN KHUSUS:
Suara dari Sumba: Daulat Rakyat untuk Keadilan Ekologi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Walhi mendorong model pembangunan alternatif yang bertumpu pada kepemimpinan komunitas, penghormatan terhadap HAM dan keberlanjutan ekologi.
Ekologi
Jumat, 19 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kerusakan lingkungan akibat kebijakan pembangunan yang eksploitatif telah terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Timur. Dari Sumba, dalam Pekan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV 2025, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendorong model pembangunan alternatif yang bertumpu pada kepemimpinan komunitas, penghormatan terhadap HAM dan keberlanjutan ekologis.
Dalam rilisnya, Walhi menguraikan, di Flores, Timor, dan Sumba, proyek-proyek strategis nasional (PSN), food estate, dan pariwisata skala besar telah merusak ekosistem, menggusur hak rakyat atas tanah dan air, serta memperluas dominasi korporasi atas ruang hidup. Di Sumba, proyek Food Estate dan izin monokultur kepada PT Muria Sumba Manis telah mengubah sabana menjadi perkebunan tebu, meminggirkan masyarakat adat dan mengancam keberlanjutan lingkungan.
Penetapan Flores sebagai kawasan geothermal dan penurunan status Cagar Alam Mutis semakin membuka ruang eksploitasi atas wilayah adat. Ironisnya, kawasan konservasi seperti Taman Nasional Komodo kini justru dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta, memperbesar kontrol korporasi atas wilayah yang seharusnya dilindungi demi kelestarian dan hak hidup rakyat.
“Model pembangunan yang mengandalkan ekonomi ekstraktif telah terbukti menjadi akar dari krisis multidimensi dan krisis iklim,” kata Walhi dalam rilisnya, Kamis (18/9/2025).

Bahkan, lanjut Walhi, solusi iklim yang ditawarkan hari ini pun kerap dibajak oleh kepentingan pasar, seperti skema offset karbon dan bisnis konservasi yang mengeksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal dari wilayah kelolanya. Praktik-praktik ini justru menyingkirkan rakyat demi melanggengkan keuntungan jangka pendek segelintir elit.
Kriminalisasi warga dan kekerasan struktural
Dampak dari model pembangunan eksploitatif tidak hanya tercermin pada hilangnya tutupan hutan dan rusaknya ekosistem, tetapi juga pada meningkatnya kekerasan terhadap rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya. Walhi mencatat bahwa sepanjang 2014 hingga 2024, sebanyak 1.131 orang mengalami kriminalisasi karena mempertahankan wilayah kelola mereka dari ancaman korporasi dan negara.
Kriminalisasi ini terjadi dalam berbagai bentuk, di antaranya intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, pemidanaan, hingga kekerasan fisik. Konflik agraria terus meningkat setiap tahunnya, terutama di wilayah yang bersinggungan dengan industri perkebunan, pertambangan, proyek strategis nasional (PSN), kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN), dan proyek infrastruktur lainnya.
“Masyarakat adat, komunitas lokal, perempuan, dan kelompok marjinal menjadi korban utama dari sistem pembangunan yang menindas,” ujar Walhi.
Situasi ini menunjukkan bahwa negara tidak hanya gagal menjamin hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan, tetapi justru aktif menjadi pelaku penindasan demi kepentingan modal. PNLH 2025, imbuh Walhi, hadir untuk memperkuat solidaritas rakyat dan memperjuangkan penghentian praktik kriminalisasi serta penegakan keadilan ekologis.
Ekonomi Nusantara: jalan pemulihan
Sebagai respons atas krisis yang terjadi, Walhi telah mengembangkan konsep Ekonomi Nusantara sebagai tawaran alternatif yang dibangun dari praktik ekonomi lokal yang terhubung dengan lanskap ekologis dan tradisi pengelolaan sumber daya alam. Kajian yang dilakukan pada 2019–2021 mengidentifikasi setidaknya 70 jenis komoditas tropis yang memiliki potensi ekonomi sekaligus mendukung penyerapan karbon dan pendistribusian kesejahteraan secara adil.
Praktik berkelanjutan ini sejalan dengan rekam jejak masyarakat adat dan komunitas lokal yang diakui secara global dalam kerangka Convention on Biological Diversity (CBD) dan UNFCCC. Namun, pengakuan internasional ini belum terimplementasi dalam kebijakan nasional.
“Sementara negara-negara seperti Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat mulai menyusun regulasi untuk mencegah deforestasi dan pelanggaran HAM, Indonesia justru memperluas ruang eksploitasi,” tulis Walhi.
Walhi menambahkan, PNLH 2025 menjadi momentum untuk memperkuat posisi politik masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penentu arah masa depan bumi. Dari Pulau Sumba, suara rakyat akan menggema ke seluruh penjuru negeri dan dunia, membawa harapan, keteguhan, dan visi baru tentang masa depan planet yang dipimpin oleh solidaritas, bukan eksploitasi.