
LIPUTAN KHUSUS:
Tiada Cuan Selain IMIP
Penulis : La Ode Muhlas, KENDARI
Petani tersingkir di Morowali setelah tambang nikel datang, termasuk transmigran dari program pemerintah sebelumnya. Bagian pertama dari dua tulisan tentang Morowali.
SOROT
Rabu, 30 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sudah lebih satu dekade Sunarso (49 tahun) hidup terkatung-katung tak punya pekerjaan pasti. Dia acap kelabakan mencukupi kebutuhan rumah tangga lantaran tiada sumber pendapatan yang jelas. Gara-gara biaya pula, anak lanang keduanya terpaksa mengurungkan mimpi untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi usai menamatkan sekolah menengah atas setahun lalu. “Dia pengen kuliahnya di kampus Brawijaya. Tapi saya bilang jangan dulu karena belum ada biaya,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya Rabu (25/6/2025).
Sunarso berasal dari keluarga petani di Jawa Barat. Saat menjejaki usia remaja dia diboyong orang tuanya bermigrasi ke Morowali pada 1993. Saat ini dia menetap bersama istri dan tiga anaknya di Desa Bahomakmur, Kecamatan Bahodopi. Dia dididik dan tumbuh hingga memiliki keterampilan bertani sampai akhirnya menggarap sawah seluas satu hektar lebih warisan orang tuanya.
Kata Sunarso, saat bertani asap tungku dapurnya terus mengepul. Kebutuhan keluarganya terpenuhi berkat hasil panen padi ratusan kilogram setiap tiga bulan pasca tanam. “Hasilnya cukuplah. Buktinya bisa membesarkan anak dan bisa juga untuk menyisipi kehidupan,” katanya meyakinkan.
Di samping bersawah, dia mengantongi pendapatan dari jual-beli getah damar. Ketika itu, kawasan hutan menjadi sumber getah damar, rotan, dan kayu gaharu yang memberikan pendapatan tambahan bagi penduduk di Morowali. Pohon damar relatif mudah ditemukan karena tumbuh menyebar di tengah rerimbunan hutan. Setelah dua pekan memasuki kawasan hutan, para penduduk bisa mengumpulkan sebanyak satu sampai dua kuintal kemudian dibawa pulang ke perkampungan menggunakan rakitan bambu menyusuri aliran sungai.

Sunarso membeli getah damar dari para penyadap lalu menjualnya ke penampung utama di Kota Kendari. Setiap bulan dia bisa menjual delapan ton damar. Dengan frekuensi dua bulan sekali, dia bisa mendulang untung antara Rp4 juta sampai Rp5 juta. Keuntungannya bahkan melebihi gaji pokok pegawai negeri sipil golongan IV/D saat itu.
Memasuki 2010, PT Bintang Delapan Mineral (BDM) masuk ke wilayah desanya untuk mengeruk nikel. Perusahaan ini mengantongi izin lahan konsesi seluas 21.695 hektare. Lahan konsesinya mencakup sembilan desa di Kecamatan Bahodopi. Perusahaan itu menjadi cikal bakal keberadaan kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Kawasan tambang dibuka dengan membabat hutan tempat pohon damar tumbuh. Para penyadap damar tak lagi bisa memanen getah damar. Sunarso pun terkena getahnya. Dia kehilangan sumber komoditas jualan.
Sunarso juga kehilangan sawah. Tanaman padi tumbuh layu karena saluran irigasi dan sumber air tercemar akibat pembangunan jalan hauling yang menghubungkan lokasi penambangan ke area penampungan ore nikel. Gara-gara itu Sunarso bersama petani lain acapkali menderita gagal panen.
Para petani terdampak sudah pernah meminta perusahaan bertanggung jawab. Alih-alih menyahuti, perusahaan kian masif memangkas kawasan hutan dalam memperluas area penambangan. Akibatnya, daerah resapan air semakin sempit sehingga menambah beban badan sungai. Tatkala hujan mengguyur curah hujan yang deras meluap menggenangi kawasan permukiman. Banjir diperparah limpasan air mengandung lumpur cokelat kemerahan dari kubangan bekas penggalian tambang mengalir berujung merendam persawahan. Tanah lumpur mengendap lantas mengering di lahan sawah.
Menurut laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, kejadian banjir bandang pada pertengahan 2010 itu merendam lahan pertanian milik 497 kepala keluarga petani di Desa Bahomakmur. Air lumpur merusak lahan persawahan hingga tidak bisa dikelola kembali. Jatam menganalisa peristiwa banjir disebabkan pendangkalan sungai akibat pembongkaran area hutan dilakukan PT BDM.
Petani berulang kali berunjuk rasa menuntut ganti rugi dari perusahaan. Meski sebagian dipenuhi namun ganti rugi diberikan dianggap tidak setimpal dengan total kerugian. Amarah mereka membuncah hingga terjadi insiden perusakan dan pembakaran sejumlah fasilitas milik perusahaan. Atas kejadian 2010 itu beberapa orang petani diseret ke meja pengadilan. Salah seorangnya Sunarso yang meringkuk di balik jeruji besi penjara dengan meninggalkan istri yang sedang mengandung usia sebulan. Dia bebas sesudah tujuh bulan menjalani masa hukuman.
Sebulan setelah menghirup udara bebas, Sunarso kebingungan karena istrinya memasuki waktu melahirkan. Dia tak pelak kelimpungan untuk membiayai persalinan dan memenuhi kebutuhan ibu dan bayi. Dompetnya hanya berisi kartu identitas kependudukan. “Syukurnya waktu itu ada keluarga yang bantu. Alhamdulillah masalah jadi ringan.”
Sejak saat itu Sunarso melangkahi hari-hari dengan kehilangan pekerjaan. Denyut kegiatan menjual-beli getah damar tandas, buntut para penyadap beralih menjadi pekerja tambang seiring pohon damar hampir habis ditumbangkan. Sementara padi ditanamnya tak pernah sampai di masa panen. Dia akhirnya terpaksa harus menjual sepetak demi sepetak lahan sawahnya demi menyumbat kekosongan ekonomi.
Menurunnya produktivitas lahan pertanian menjalar ke usaha penggilingan padi milik Nurman Hidayat. Sejak petani kerap mengalami gagal panen, mesin penggilingannya jarang berputar. Hari-hari sebelumnya dia biasa menggiling gabah puluhan karung hanya dari satu orang petani.
Usaha penggilingan itu semula dikelola orang tuanya sejak 1994, setahun sesudah tiba dari Banyuwangi, Jawa Timur. Dia dibawa saat masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Mereka datang mengikuti program transmigrasi gelombang kedua menyusul trans Bali setahun lebih dulu. Rombongannya ditempatkan di wilayah naungan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Bahodopi.
Sama seperti warga transmigran lainnya, orang tua Nurman menerima pembagian lahan keseluruhan seluas dua hektare terbagi tiga petak. Lahan itu terdiri lahan pekarangan serta lahan usaha satu dan dua yang dikelola menjadi sawah. Bertani sawah didukung kondisi topografi Desa Bahomakmur sebagai lahan basah sehingga padi tumbuh dengan suplai air cukup. Hasil panen sawah miliknya seluas seperempat hektare tidak kurang dari sejumlah satu ton. “Dulu di sini biar tanpa pupuk kami panen bagus karena masih subur sekali,” katanya dengan aksen Jawa medok.
Dari hasil panen itu, Nurman menyisihkan separuhnya untuk biaya keperluan istri dan anak-anak dan separuh lagi untuk kebutuhan konsumsi. Selama bersawah dia tidak pernah mengeluarkan uang membeli beras. Hasil sekali panen sudah cukup digunakan sampai masa panen berikutnya.
Hasil panen menurun drastis tatkala bencana banjir berulang kali menerjang setiap musim penghujan tiba. Air berlumpur kemerahan setinggi hingga mencapai dua meter menenggelamkan area persawahan. Banjir yang merendam persawahan terjadi berulang kali sejak 2010 sampai akhirnya pada 2012 sawah di Bahomakmur ditutup. Akibatnya padi sulit untuk tumbuh subur. Petani kerap merugi karena besaran biaya produksi tidak sebanding dengan perolehan hasil. Buntutnya kebanyakan mereka terpaksa menjual lahan sawah demi menyiasati desakan ekonomi.
Nurman tidak punya pilihan selain mesti berhenti menggarap sawah. Dia lantas menggadaikan sertifikat tanah bekas sawah untuk mengajukan pinjaman di bank sebesar Rp200 juta sebagai modal membangun kos-kosan untuk pekerja tambang nikel. Dia harus memenuhi kewajiban membayar pengembalian kredit sebesar Rp5 juta per bulan selama tiga tahun.
Usaha itu kini menjadi tulang punggung andalan untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Sudah sejak 2012 dia meninggalkan kehidupan bertani. Telinganya tidak pernah lagi diusik kicauan kawanan burung gereja hinggap memakan bulir padi di sawah.
Tambang yang Ekspansif
Harapan warga transmigran di Desa Bahomakmur untuk terus bertani sempat merekah ketika permintaan bantuan lahan tambahan dikabulkan pemerintah. Total lahan yang diberikan seluas 396 hektare. Masing-masing kepala keluarga mendapat tanah seluas dua hektare. Mereka mengantongi alas hak milik berupa Surat Kepemilikan Tanah (SKT) dengan memenuhi kewajiban membayar pajak tanah sebesar Rp100 ribu per tahun.
Ketua Kelompok Tani Bahomakmur Muhamad Saleh menuturkan, lahan pertanian mereka belakangan terbagi ke dalam administrasi wilayah empat desa di Bahodopi. Lahan tersebut dikelola menjadi kebun tumpang sari ditumbuhi tanaman antara lain jambu mete, cokelat, dan kelapa. Namun, baru dua kali berganti kalender petani tidak sempat menikmati hasil panen tanamannya, imbas perluasan kawasan PT IMIP yang menyasar lahan kebun milik mereka. Kegiatan alat berat eskavator melibas sejumlah tanaman hingga rusak rata tergeletak di tanah.
Saleh mengatakan, semula lahan mereka digunakan IMIP untuk membikin jalan hauling dan pembangunan sejumlah fasilitas. Dia bersama puluhan masyarakat kelompok tani merajut perlawanan dengan menghadang lalu lintas pengangkutan ore nikel sebagai desakan meminta ganti rugi. Pemerintah lantas menghelat pertemuan guna memediasi perselisihan kedua belah pihak. Kendati begitu, beberapa kali pertemuan gagal bersua penyelesaian.
Menurut Saleh, perusahaan tidak bersedia memenuhi permintaan ganti rugi sebab belum membutuhkan lahan petani yang digunakan. Masyarakat petani pun terus memprotes sampai nekat menghalangi aktivitas di lokasi penambangan hingga menghadapi ancaman kriminalisasi. “Jangan macam-macam nanti saya turunkan Pansus tangkap kalian,” kata pihak Humas IMIP kepada kelompok petani seperti diceritakan Saleh. Pansus merujuk Pasukan Khusus, selaku satuan kerja tim keamanan milik perusahaan beranggotakan aparat militer.
Petani berulang kali meminta ganti rugi namun tak kunjung dikabulkan. Sejak itu mereka tidak bisa mengelola kembali lahan kebunnya. Tanaman mereka sudah berganti bangunan smelter nikel dan sejumlah fasilitas pendukung industri pertambangan. Di sebelah lahan berdiri bangunan pabrik yang memproduksi katoda nikel kobalt sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik.
Akibat pembangunan itu, Sunarso kesulitan mengakses kebunnya yang sudah berada di dalam kawasan inti IMIP. Lahan miliknya keseluruhan seluas 10 hektare. Sebagian sudah dibeli dari sesama kelompok tani. Dia kembali mendatangi lahan itu akhir Juni lalu, lamun langkahnya terhenti sampai di depan pos sekuriti. Dia tidak diberi izin masuk dengan alasan tidak mengenakan pakaian sesuai standar keamanan perusahaan.
Sunarso membelakangi pabrik pengolahan nikel kobalt di Morowali. Tanahnya ada di sana (Foto: La Ode Muhlas)
Humas IMIP Dedy Kurniawan mengatakan, lahan yang digunakan untuk membangun jalan hauling di kawasan kelola sudah diberikan ganti rugi melalui masyarakat secara perseorangan yang mengantongi sertifikat kepemilikan tanah. Kata Dedy, lahan tersebut juga dipakai untuk mendirikan tiang listrik yang juga dimanfaatkan masyarakat sekitar kawasan.
“Itu tanah warga bukan tanah kelompok tani. Dan itu tanah bersertifikat, kami sudah berikan ganti rugi. Nggak ada kelompok tani di Bahomakmur. Di Bahomakmur itu petaninya sendiri-sendiri. Kelompok tani itu adanya di Desa Lele dan Makarti,” kata Dedy melalui sambungan telepon pada Rabu (16/7/2025).
Dedy menjelaskan, IMIP sudah memberikan ganti rugi beserta tanaman yang tumbuh di dalamnya. Katanya, proses pembebasan lahan sudah diselesaikan sejak 2015. Namun dia tidak menyebutkan jumlah total luas lahan milik warga yang diganti rugi perusahaan.
Sunarso berharap adanya ruang pemberdayaan bagi masyarakat lingkar kawasan industri sesuai keterampilan yang dimiliki di tengah kondisi lingkungan yang rusak. Menurutnya, pemerintah mestinya menyiapkan satu kawasan kelola khusus pertanian untuk dimanfaatkan secara kolektif masyarakat dengan menjaminkan kemudahan akses pasar produk hasil tani. “Harapan saya ke depannya perhatikanlah masyarakat lingkar tambang ini supaya ada kenaikan pangannya. Apakah pemerintah kerja sama dengan perusahaan dibuatkan kelompok pertanian. Suplai sayuran misalnya ke dalam,” harapnya.
Bila pemerintah tidak ikut campur, dia berharap pihak perusahaan membeli saja lahan mereka. “Kebanyakan masyarakat sudah banyak yang mengeluh kalau tidak ada pemerintah, maka kami akan naik ke perusahaan minta bebaskan saja kami di sini biar cari di mana mau tinggal.”
Penulis sudah meminta konfirmasi Bupati Morowali Iksan Baharudin Abdul Rauf melalui pesan singkat pada 4 Juli 2025, namun sampai tulisan diterbitkan pesan tidak mendapat balasan. Upaya konfirmasi serupa dilakukan melalui telepon seluler, namun juga tidak ditanggapi.
Artikel ini merupakan tulisan bagian pertama dari dua tulisan, tentang potret petani Morowali di sekitar IMIP. Liputan ini didukung oleh Traction Energy Asia (TEA) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam program fellowship Akademi Jurnalis Ekonomi Lingkungan (AJEL) batch 3.