
LIPUTAN KHUSUS:
Evaluasi Walhi atas Satgas PKH: 10 Provinsi, 1 Efek
Penulis : Gilang Helindro
Ini bukan penertiban, tapi pemutihan korporasi dan legalisasi kejahatan Lingkungan oleh negara, kata Walhi Kalteng.
Hukum
Selasa, 29 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai kebijakan penertiban kawasan hutan (PKH) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 justru memperburuk situasi konflik tenurial di berbagai wilayah Indonesia. Penertiban yang dilakukan satuan tugas (Satgas PKH) dinilai lebih banyak menyasar lahan masyarakat ketimbang menghentikan ekspansi ilegal perusahaan.
Dalam temuannya di 10 provinsi, Walhi mencatat penyegelan dan pengambilalihan lahan oleh Satgas PKH menimbulkan konflik baru serta tidak menjawab kebutuhan pemulihan ekologi dan hak rakyat. “Ini bukan penertiban, tapi pemutihan korporasi dan legalisasi kejahatan lingkungan oleh negara,” tegas Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, dalam konferensi pers Jumat 18/7).
Bayu mencontohkan kondisi di Kalimantan Tengah, di mana terdapat 127 perusahaan sawit dengan luas total sekitar 849.988 hektare yang tercantum dalam SK Menteri Kehutanan No. 36 Tahun 2025. Namun, menurut Bayu, plangisasi atau penyegelan di lapangan tidak sesuai dengan dokumen resmi. “Penyegelan juga tidak menghentikan aktivitas perusahaan. Justru lahan masyarakat adat dan petani kecil yang ikut tersegel,” ujarnya.
Kondisi serupa terjadi di Kalimantan Barat. Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Walhi Kalbar, Indra Syahnanda, mengatakan empat perusahaan telah disegel, antara lain PT Rezeki Kencana (Kubu Raya), PT Riau Agrotama Plantation (Kapuas Hulu), dan PT Satria Multi Sukses (Landak). PT Duta Palma, yang mengelola lebih dari 137 ribu hektare sawit di Bengkayang dan Sambas, juga disegel lalu dialihkan ke PT Agrinas Nusantara. Namun, konflik lama terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh belum terselesaikan.

Sementara di Sumatera Barat, Walhi mencatat sekitar 105 ribu hektare kawasan hutan telah disegel Satgas PKH. Salah satunya adalah PT AMP di Kabupaten Agam yang terhubung dengan Wilmar Grup, dengan lahan seluas 1.500 hektare. Direktur Walhi Sumbar, Wengky Purwanto menyatakan bahwa wilayah tersebut adalah tanah ulayat masyarakat adat yang seharusnya dikembalikan. Ia menilai Perpres No. 5 Tahun 2025 tidak mampu menjawab kompleksitas tipologi penguasaan hutan. “Dibutuhkan UU Kehutanan baru untuk menjamin keadilan ekologis dan sosial,” ujarnya.
Di Jambi, penyegelan juga memicu protes. Manajer Advokasi Walhi Jambi, Ginda Harahap, menyebut bahwa 280 hektare lahan yang disegel berada di kawasan yang sedang dalam proses penyelesaian konflik agraria. Lahan tersebut bahkan telah memiliki surat dari PT Agrinas, yang menawarkan kerja sama dengan masyarakat. Namun, Ginda menilai skema tersebut tidak adil dan seluruh tanggung jawab dibebankan kepada masyarakat.
“Satgas PKH gagal menjadi alat korektif negara. Harus ada koreksi menyeluruh, dimulai dari pengakuan hak masyarakat atas wilayah kelola yang telah dirawat turun-temurun,” kata Ginda.
Walhi mendesak pemerintah mengevaluasi total kebijakan penertiban kawasan hutan dan menghentikan praktik yang justru menyuburkan ketidakadilan struktural dan perusakan lingkungan atas nama penegakan hukum.