LIPUTAN KHUSUS:

Riset: Serangan ke Pembela Lingkungan, dari Daring Lanjut Luring


Penulis : Kennial Laia

Pejuang lingkungan dan HAM mengalami pelecehan secara online, mulai dari kebohongan hingga ancaman pembunuhan.

Pejuang Lingkungan

Kamis, 17 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Serangan di ranah digital sangat umum terjadi kepada kalangan pembela hak asasi manusia dan lingkungan, termasuk ancaman pembunuhan, doxxing atau penyebaran informasi pribadi, dan serangan siber. Menurut sebuah survei terbaru, serangan daring ini kerap berpindah ke dunia nyata (luring), di mana para pembela HAM dan lingkungan mengalami pelecehan, kekerasan, dan penangkapan.  

Global Witness melakukan wawancara dan kuesioner kepada lebih dari 200 pembela lingkungan di enam benua. Survei itu menemukan, sembilan dari 10 aktivis melaporkan mengalami pelecehan atas aktivitas mereka. Tiga dari empat pembela HAM dan lingkungan mengatakan yang pernah mengalami kekerasan secara offline percaya bahwa pelecehan digital berkontribusi terhadap kejadian tersebut. 

Fatrisia Ain, koordinator Forum Petani Plasma Buol, mengatakan mengalami pelecehan dan intimidasi berulang saat memperjuangkan hak petani terhadap perjanjian kebun plasma dengan perusahaan sawit di Buol, Sulawesi Tengah, selama tiga tahun terakhir. 

"Facebook sangat populer di wilayah kami, dan itulah yang harus kami gunakan untuk advokasi kami. Saya telah berulang kali diserang di platform ini. Penyerang tak dikenal telah mengambil foto dari akun Instagram pribadi saya dan mempostingnya di halaman grup Facebook yang memiliki banyak pengikut. Isinya penuh dengan ujaran kebencian dan kebohongan tentang saya,” kata Fatrisia. 

Fatrisia Ain, perempuan pejuang lingkungan dari Sulawesi Tengah. Dok. Sarjan Lahay / Global Witness

Unggahan tersebut hingga kini terlihat di grup publik yang memiliki anggota hingga 40.000. “Mereka menuduh saya seorang komunis. Mereka juga menuduh saya berkonspirasi untuk menipu para petani dan menyerukan agar saya segera ditangkap oleh polisi,” kata Fatrisia. 

Global Witness mengungkap hampir dua pertiga pembela HAM dan lingkungan yang pernah mengalami pelecehan mengatakan hal itu membuat mereka takut akan keselamatan mereka. Bagi Fatrisia, posisinya sebagai seorang perempuan membuatnya “lebih rentan”.  “Mereka menyebar fitnah dengan menuduh saya berselingkuh dengan laki-laki beristri sesama aktivis, karena saya seorang aktivis perempuan yang belum menikah,” katanya. 

“Menurut saya, mereka mencoba mempermalukan dan menghilangkan kredibilitas saya,” ujarnya. Fatrisia juga kerap mengalami penyerangan dan pelecehan verbal di Instagram, terutama saat mengadakan diskusi daring ataupun melakukan siaran langsung saat protes. 

Serangan daring tersebut juga membuat keluarganya khawatir, dan memintanya untuk menghentikan aktivismenya. 

Fatrisia memilih untuk menghubungi Meta, pemilik Facebook dan Instagram, untuk menghapus unggahan-unggahan tentangnya, namun Meta tidak meladeni permintaannya. 

Menurut Global Witness, hanya 12% pembela HAM yang melaporkan pelecehan merasa puas dengan tanggapan platform digital tersebut. Global Witness menemukan bukti yang menunjukkan bahwa pembela HAM di Eropa lebih mungkin menerima tanggapan ketika melaporkan konten berbahaya. 

Laporan Global Witness pada 2024 mengungkap, 196 individu dibunuh karena membela tanah dan rumah mereka pada 2023. Banyak juga yang diculik, dikriminalisasi, dan dibungkam dengan ancaman. 

Tahun lalu, Fatrisia juga mengalami penyerangan secara fisik, ketika sepeda motor menyerempetnya saat menuju desa dampingan di tengah perkebunan. Tahun lalu, konflik juga meletus antara petani di Buol dan perusahaan sawit bernama PT HIP. 

“Serangan-serangan ini berdampak besar pada saya dan perempuan lain di kelompok saya. Organisasi kami tidak memiliki sumber daya keuangan untuk membayar konseling psikologis,” kata Fatrisia. 

Contoh nyata unggahan Facebook yang menyerang Fatrisia Ain, yang melakukan red-tagging dan menyebutnya komunis dan anti-investasi. Dok. Global Witness

“Kami juga perlu bekerja dengan berkebun, menjual makanan, dan pekerjaan paruh waktu lainnya untuk mendukung keuangan pribadi dan keluarga di antara upaya pengorganisasian dan advokasi. Beban fisik dan mental kami sangat, sangat berat,” ujarnya. 

Survei ini, yang dilakukan bersama Survation, adalah yang pertama kali mencoba memahami pengalaman pembela HAM dan lingkungan di ranah online. 

Global Witness mengatakan dampak dari pelecehan daring ini sangat signifikan. “Hampir dua pertiga dari pembela HAM yang menjawab pertanyaan kami mengenai dampak pelecehan yang mereka derita mengatakan bahwa mereka mengkhawatirkan keselamatan mereka dan komunitasnya, dan hampir setengahnya melaporkan hilangnya produktivitas.”

Situasinya sangat buruk, sehingga 91% responden pembela HAM dan lingkungan dalam survei tersebut meyakini platform digital harus berbuat lebih banyak untuk menjaga keamanan dan komunitas mereka. 

“Saya ingin Meta mengubah kebijakannya sehingga dampak serangan online dapat diketahui. Saya juga ingin orang-orang yang menyerang saya secara online tidak bisa tetap anonim,” kata Fatrisia. 

"Semua ini dapat diubah. Model bisnis perusahaan media sosial memprioritaskan keuntungan dibandingkan keselamatan pengguna. Mereka dapat dan harus berbuat lebih banyak untuk membantu melindungi individu-individu ini dengan berinvestasi secara tepat dalam transparansi algoritmik, moderasi konten, serta sumber daya keselamatan dan integritas," tulis Global Witness. 

“Memperbaiki langkah-langkah ini tidak hanya akan menjaga pembela HAM tetap aman saat online namun juga akan menguntungkan semua pengguna di mana pun.” 

Pembela HAM dan lingkungan paling banyak mengalami pelecehan di Facebook

Secara global para pembela HAM dan lingkungan mengatakan paling banyak menerima pelecehan di Facebook dibandingkan platform lainnya. Posisi kedua ditempati X, disusul WhatsApp. Instagram menjadi platform keempat yang paling umum disalahgunakan untuk menyerang aktivis HAM dan lingkungan. 

Facebook, WhatsApp, dan Instagram dimiliki oleh Meta. Sebanyak 82 persen responden mengaku mengalami pelecehan online setidaknya pada satu dari tiga platform milik Meta. 

“Ini berarti ada risiko nyata bahwa pelecehan online ini berdampak pada kampanye para pembela HAM, sehingga menghambat kemajuan dalam aksi dan solusi iklim,” tulis Global Witness. 

Global Witness telah menghubungi Google, Meta, TikTok, dan X terkait temuan tersebut. Meta menunjuk ke Pusat Keamanan dan sumber dayanya mengenai pencegahan intimidasi dan pelecehan, yang mencakup fitur “kata-kata tersembunyi” yang memungkinkan pengguna memfilter komentar dan pesan langsung yang menyinggung. Dikatakan bahwa ada batasan untuk mencegah penyalahgunaan fitur-fiturnya.

TikTok merujuk pada pedoman komunitasnya mengenai pelecehan dan intimidasi dan menyatakan bahwa pihaknya tidak mengizinkan pernyataan dan perilaku yang melecehkan, merendahkan, atau menindas. Yang lain menolak berkomentar.