
LIPUTAN KHUSUS:
Warga Bangkep Tolak Tambang Gamping di Kawasan Karst
Penulis : Gilang Helindro
Pemerintah sudah membagikan Karst Banggai Kepulauan ke 45 perusahaan tambang batu gamping.
Tambang
Rabu, 02 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana penambangan batu gamping di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, memicu kekhawatiran luas dari warga dan pegiat lingkungan. Kawasan karst yang menjadi sumber utama air dan kehidupan masyarakat di wilayah ini terancam oleh 45 perusahaan tambang yang telah menerima Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan total luasan mencapai 4.599 hektare.
Moh Taufik, Koordinator JATAM Sulteng menjelaskan, Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) memiliki luas 2.488,79 km² dengan populasi 117.526 jiwa dan terdiri atas 342 pulau. Sekitar 95 persen daratan Bangkep merupakan kawasan karst dengan 124 mata air, 103 sungai permukaan, 17 gua, dan satu sungai bawah tanah. "Seluruh sistem hidrologi ini sangat bergantung pada batuan karst yang rapuh dan sensitif terhadap gangguan," kata Taufik dikutip Selasa, 1 Juli 2025.
Menurut data JATAM Sulteng per Juni 2025, dari 45 perusahaan yang mengantongi izin, 43 di antaranya berstatus WIUP pencadangan seluas 4.398 hektare, satu berstatus eksplorasi (88 hektare), dan satu telah mendapat izin operasi produksi (113,7 hektare). Salah satu wilayah yang terdampak adalah Desa Lelang Matamaling, Kecamatan Buko Selatan, di mana empat perusahaan tambang PT Defia Anugrah Sejahtera, PT Gamping Bumi Asia, PT Gamping Sejahtera Mandiri, dan PT Prima Tambang Semesta telah diberikan izin pencadangan seluas total 696 hektare.
Abdul Hadi, salah satu warga Desa Lelang Matamaling, menilai pemberian WIUP di wilayah mereka melanggar sejumlah ketentuan hukum. Desa Lelang Matamaling termasuk dalam zona konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil yang ditetapkan melalui Kepmen KP No. 53/KEPMEN-KP/2022 tentang Kawasan Konservasi Banggai, Banggai Laut, dan Banggai Kepulauan. Wilayah ini dikategorikan sebagai Zona Inti, Sub-Zona Perikanan Budidaya, dan Sub-Zona Wisata Bahari, di mana kegiatan tambang tidak diperbolehkan.

Tak hanya melanggar kawasan konservasi, rencana penambangan juga dikhawatirkan merusak situs ekowisata gua Jepang yang berada di kawasan karst Desa Matamaling. Situs ini telah dilindungi berdasarkan Perda No. 16 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan, yang menegaskan pentingnya menjaga bentang alam karst sebagai daerah resapan dan cadangan air.
Selain potensi kerusakan ekologis, masyarakat khawatir akan kehilangan sumber kehidupan mereka. Di Desa Matamaling, sekitar 400 kepala keluarga bergantung pada sektor pertanian dan perikanan. Sebanyak 70% warga berprofesi sebagai nelayan tangkap, sementara sisanya adalah petani. Hasil pertanian seperti ubi Banggai, kelapa, cengkeh, dan sayur-mayur selama ini menjadi sumber penghidupan utama dan telah mendukung pendidikan anak-anak mereka hingga jenjang perguruan tinggi.
Salah satu nelayan, Nardi, mengungkapkan bahwa hasil melautnya bisa mencapai 3 juta rupiah sekali melaut. Dalam sebulan, ia bisa memperoleh penghasilan hingga 30 juta rupiah dari hasil tangkapan seperti ikan lalosi dan bobara.
Namun, rencana pertambangan mengancam keberlangsungan mata air utama warga, yakni Mata Air Laanding, yang mengalir dari dalam kawasan karst dan menjadi sumber air bersih sepanjang tahun. Jika pertambangan dilakukan dengan metode peledakan seperti yang umum pada batu gamping, struktur karst akan rusak permanen dan menghilangkan sumber air, memicu banjir, longsor, dan gagal panen.
Warga dan pegiat lingkungan mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk segera mencabut WIUP yang telah dikeluarkan, khususnya di wilayah yang dilindungi undang-undang. Mereka menegaskan bahwa kegiatan tambang tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga melanggar hak hidup dan kedaulatan masyarakat yang selama ini menjaga alamnya.
“Kami bukan menolak pembangunan, tapi kami ingin pembangunan yang menghormati hukum dan kehidupan masyarakat lokal. Karst ini sumber hidup kami, bukan sekadar tumpukan batu untuk ditambang,” ungkap Hadi.
Menurut Taufik, desakan ini menjadi peringatan bagi pemerintah daerah dan pusat untuk lebih berhati-hati dalam menerbitkan izin pertambangan, terlebih di kawasan lindung yang berperan penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat.