LIPUTAN KHUSUS:

Koalisi Sumbar Desak Pencabutan Izin Bahlil di Pulau Sipora


Penulis : Gilang Helindro

Amdal PT. SPS tidak saja cacat teknis dan etis, juga mengabaikan prinsip keberlanjutan ekologis dan sosial.

Lingkungan

Rabu, 18 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Koalisi Masyarakat Sipil (KMP) Sumatera Barat menyatakan rencana usaha pemanfaatan hutan oleh PT. Sumber Permata Sipora (PT. SPS) di Pulau Sipora tidak layak secara lingkungan dan melanggar sejumlah ketentuan hukum. Pernyataan ini merespons terbitnya surat Persetujuan Komitmen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atas nama PT. SPS yang ditandatangani oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada 28 Maret 2023. Surat tersebut memberikan hak kelola atas kawasan hutan seluas 20.706 hektare di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Koalisi menilai izin tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang diperbarui melalui UU No. 6 Tahun 2023. Mengingat luas Pulau Sipora yang hanya 615,18 km², kawasan ini termasuk dalam kategori pulau kecil yang seharusnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, riset, budi daya laut, pariwisata berkelanjutan, serta pertahanan dan keamanan nasional.

“Karena sifatnya sebagai lex specialis, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengesampingkan ketentuan umum dalam UU Kehutanan dan UU Tata Ruang,” jelas Tommy Adam, Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Walhi Sumatera Barat dalam pernyataan tertulis dikutip Selasa, 16 Juni 2025.

Koalisi menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses penyusunan dokumen lingkungan PT. SPS, termasuk ketidaksesuaian kode KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) yang digunakan. PT. SPS mengajukan kode KBLI 02111 untuk pemanfaatan hutan tanaman, namun dalam dokumen AMDAL tercantum kode KBLI 02121 dan 0230—yang merujuk pada hutan alam dan hasil hutan bukan kayu.

Tumpukan kayu bulat milik perusahaan pemegang izin akses SIPUHH di Pulau Sipora, Mentawai. Foto: Rus/YCMM

“Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi bentuk penyesatan informasi yang berisiko tinggi terhadap kerusakan hutan alam yang memiliki nilai ekologis lebih tinggi dibanding hutan tanaman,” tegas Tommy.

Lebih menyolok lagi, dari analisis koordinat lokasi konsesi yang tercantum dalam dokumen perizinan, sebanyak 132 titik justru merujuk ke wilayah Kelurahan Ciwaringin, Kota Bogor, Jawa Barat seluas 2.407 hektare. “Kesalahan fatal ini menunjukkan lemahnya proses verifikasi dokumen oleh lembaga terkait,” tambahnya.

Koalisi menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses penyusunan dokumen lingkungan PT. SPS. Dok: Walhi Sumbar

Kajian Lingkungan Dinilai Lemah dan Tidak Partisipatif

Dokumen AMDAL PT. SPS dinilai tidak menyajikan kajian rona awal lingkungan secara utuh. Studi hanya mencakup kawasan daratan tanpa memasukkan ekosistem pesisir dan laut yang jelas akan terdampak dari proyek tersebut. Selain itu, tidak ada informasi tentang asal material untuk pembangunan jalan sepanjang 130 km, atau dampak pengambilannya terhadap lingkungan.

Koalisi juga mengkritik ketiadaan data mengenai satwa endemik dan dilindungi yang terdapat di wilayah konsesi. Hal ini berpotensi melanggar UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Dalam aspek sosial, kelompok rentan seperti perempuan pembudidaya toek (pangan lokal) luput dari kajian dampak sosial ekonomi. Potensi rusaknya kualitas air sungai yang menjadi sumber utama penghidupan mereka tidak diperhitungkan.

Partisipasi masyarakat juga sangat minim. Sosialisasi hanya dilakukan satu kali dan hanya menghadirkan empat perwakilan dari masing-masing desa. Pengumuman proyek hanya dipublikasikan di media cetak yang tidak beredar luas di wilayah terdampak.

Padahal, Pulau Sipora termasuk kawasan rawan bencana. Sepanjang tahun 2024 saja tercatat 29 kejadian bencana, termasuk gempa bumi, cuaca ekstrem, dan banjir. Namun, dokumen AMDAL tidak mencantumkan kajian risiko bencana atau langkah mitigasi yang memadai.

Dengan berbagai temuan cacat prosedur, substansi, dan administrasi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar mendesak Menteri Kehutanan dan Menteri Investasi untuk mencabut izin PBPH PT. SPS. Mereka juga meminta Komisi Penilai AMDAL Pusat tidak menerbitkan persetujuan lingkungan terhadap proyek ini.

“AMDAL PT. SPS tidak hanya cacat teknis dan etis, tapi juga mengabaikan prinsip keberlanjutan ekologis dan sosial,” ujar Koalisi.

Koalisi menegaskan bahwa proyek ini berpotensi memperparah krisis lingkungan, memperbesar risiko bencana, serta mengancam sumber penghidupan masyarakat adat dan kelompok rentan di Pulau Sipora.