LIPUTAN KHUSUS:

Rencana Listrik 2025–2034 Kontra Produktif dengan Transisi Energi


Penulis : Gilang Helindro

Untuk mencapai target bebas fosil dan swasembada energi pada 2040, dibutuhkan perubahan substansial dalam RUPTL.

Energi

Selasa, 17 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 menuai kritik dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) karena dinilai memperkuat ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil. Analisis CREA menyebutkan bahwa rencana ini justru menjauh dari visi Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan penggunaan energi fosil secara bertahap pada 2040.

Dalam laporan bertajuk “RUPTL Terbaru Mengejar Pertumbuhan Penggunaan Bahan Bakar Fosil, Melemahkan Ambisi untuk Energi Bersih” yang dirilis pada Kamis, 12 Juni lalu, CREA mencatat bahwa RUPTL terbaru mengusulkan tambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis batu bara dan gas sebesar 16,6 Gigawatt (GW) hingga 2034.

“Alih-alih mengurangi, justru terdapat peningkatan signifikan dari PLTU dan PLTG, mencapai 40% dari total pembangkitan pada 2034 dibandingkan realisasi 2024 yang sebesar 286 TWh,” ungkap analis CREA, Katherine Hasan dikutip Senin, 16 Juni 2025.

Katherine juga mengungkapkan bahwa pembangkitan listrik dari bahan bakar fosil pada 2030 diperkirakan mencapai 367 TWh, naik sekitar 10% dibanding target RUPTL sebelumnya yang sebesar 333 TWh. “Kita tidak melihat adanya tanda-tanda perlambatan dalam penggunaan energi fosil dalam waktu dekat,” tambahnya.

Ilustrasi jaringan listrik

Lebih lanjut, CREA menyoroti penurunan target energi terbarukan dalam RUPTL baru menjadi 17 GW—turun dari target sebelumnya dalam RUPTL 2021–2030 yang sebesar 20,9 GW. Padahal, realisasi proyek energi terbarukan sejak 2021 hanya mencapai 1,6 GW, sehingga target baru dianggap tidak cukup ambisius.

Rencana ini juga dinilai tidak sejalan dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) dalam Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) yang diluncurkan 2023. RUPTL hanya menargetkan 10,6 GW energi surya dan angin pada 2030, jauh di bawah aspirasi JETP yang mencapai 24,3 GW.

“Bahkan usulan penghentian bertahap PLTU batu bara yang diuraikan dalam JETP CIPP mulai 2025 tidak diadopsi sama sekali,” tulis tim analis CREA.

Selain itu, penambahan PLTG sebesar 10,3 GW dalam RUPTL ini melebihi target JETP CIPP lebih dari dua kali lipat. CREA memperingatkan bahwa ketergantungan baru pada gas dapat menciptakan pasokan yang tidak pasti dan biaya yang tinggi, serta bertentangan dengan upaya efisiensi energi dan kemandirian yang digaungkan Presiden Prabowo.

CREA menekankan bahwa untuk mencapai target bebas fosil dan swasembada energi pada 2040, dibutuhkan perubahan substansial dalam RUPTL ke depan. “Pemerintah perlu menyusun peta jalan penghentian batu bara yang jelas, mempercepat pengembangan energi terbarukan pada 2025–2029, serta memastikan PLN bertanggung jawab terhadap pelaksanaan rencana ini,” demikian disebutkan dalam laporan.