
LIPUTAN KHUSUS:
Transmigrasi Lokal Warga Rempang = Penggusuran, Kata Walhi Riau
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Program transmigrasi lokal yang ditawarkan Menteri Transmigrasi hanya cara halus meminta warga Rempang meninggalkan kampung tuanya.
Agraria
Senin, 05 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Program transmigrasi lokal yang ditawarkan Menteri Transmigrasi (Mentrans), sebagai solusi permasalahan Rempang Eco-City, ditanggapi secara dingin oleh kelompok masyarakat sipil. Program transmigrasi tersebut dianggap bukanlah solusi yang diinginkan warga Rempang.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, menganggap transmigrasi lokal yang akan memindahkan warga Rempang dari kampung asalnya ke kampung buatan atau tempat relokasi, tak ada bedanya dengan penggusuran.
Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, Eko Yunanda, mengatakan transmigrasi lokal bukanlah solusi yang diinginkan oleh warga Rempang. Program yang dicanangkan Mentrans itu, menurut Eko, sama saja dengan meminta masyarakat meninggalkan kampung tuanya dan beralih ke lokasi relokasi.
“Proyek Rempang Eco-City melalui program transmigrasi lokal tetap saja menggusur, karena orientasinya membangun industri hilirisasi, tentu ini tidak menyejahterakan masyarakat dan berpotensi menghilangkan identitas kultural serta historis masyarakat adat dan tempatan yang sudah bermukim sejak 1834,” ujar Eko Yunanda, dalam keterangan tertulis, 22 April 2025.

Eko menuturkan, keinginan masyarakat Rempang yang mayoritas menolak relokasi adalah kehidupan yang tenang dan tentram di kampungnya. Model pembangunan melalui proyek Rempang Eco-City akan melahirkan ketimpangan ruang dan beban lingkungan yang akan merugikan nelayan dan berkebun di Pulau Rempang. Sejak awal, proyek Rempang Eco-City merupakan kongsi bisnis pemerintah yang pada prosesnya telah menimbulkan kekerasan struktural.
“Secara nyata, penetapan proyek Rempang Eco-City telah memicu konflik dan telah gagal dalam memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan tempatan,” ujar Eko.
Perwakilan Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) Ishaka, mengatakan, pemerintah melalui program transmigrasi lokal tidak bisa menggantikan kampung yang sudah dihuni masyarakat. Hingga kini mayoritas masyarakat tetap menolak proyek Rempang Eco-City dan program turunannya.
“Kami sudah tenang dan nyaman dengan kondisi saat ini, masuknya proyek Rempang Eco-City telah membuat kami terganggu,” ucap Ishaka.
Perlu diketahui, sejak adanya pembangunan rumah relokasi di Tanjung Banun, masyarakat sekitar mengeluhkan dampak rusaknya mangrove dan matinya ikan-ikan di keramba akibat limbah lumpur dari pembangunan rumah relokasi.
Selain itu, apabila masyarakat Rempang di 16 titik kampung tua dipindahkan dan dipusatkan ke satu titik Tanjung Banon, maka hal ini akan memicu perselisihan dari para nelayan yang berebut ruang tangkap. Sementara bagi mereka yang berprofesi petani, relokasi atau penggusuran dengan jatah luas tanah 500m2 termasuk rumah tentu membuat mereka tidak dapat mempertahankan profesinya tersebut.
Menurut Ishaka, pemerintah hanya mau mendengarkan apa yang diinginkan investor, bukan mendengarkan keinginan masyarakat adat dan tempatan yang selama ini menggantungkan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam di laut dan daratan.
“Keinginan masyarakat bukan tawaran relokasi dan bujuk rayu melalui program apapun, tapi pengakuan negara terhadap kampung tua di Pulau Rempang dan jaminan kelestarian sumber daya alam baik laut maupun darat,” ucap Ishaka.