LIPUTAN KHUSUS:

Draf Lingkungan Hidup ASEAN Masih Lalai Soal Masyarakat Adat


Penulis : Kennial Laia

Rancangan perlindungan lingkungan hidup ASEAN belum mengakui hak masyarakat adat dan pertanggungjawaban perusahaan.

Lingkungan

Jumat, 10 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Saat ini ASEAN sedang membahas rancangan mengenai deklarasi perlindungan terhadap lingkungan hidup di tingkat regional. Namun Human Rights Watch (HRW) menyatakan, draf dokumen yang ada sejauh ini masih mengabaikan elemen krusial, seperti pengakuan hak masyarakat adat dan akuntabilitas perusahaan yang melakukan perusakan lingkungan. 

Rancangan tersebut, yang diakses Betahita.ID, telah mencakup pengakuan hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan. Poin ini juga termasuk hak untuk mengakses informasi lingkungan hidup, serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai lingkungan hidup. 

Dalam draf tersebut ada pula soal kabut asap lintas batas, yang seringkali memicu perselisihan antara anggota ASEAN lantaran asap yang bersumber dari kebakaran ini menyebakan polusi udara berat di perbatasan negara. 

“Meski demikian, deklarasi tersebut memiliki kelalaian yang sangat jelas terlihat,” kata organisasi tersebut secara tertulis, Senin, 6 Mei 2024. 

Anak muda memperingati Hari Bumi pada 22 April 2024 di Medan, Sumatra Utara, dengan berdemonstrasi di jalan. Dok. Sipa via HRW

Negara-negara ASEAN telah mendukung Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Namun draft dokumen, yang disusun oleh Kelompok Kerja Hak Lingkungan ASEAN, tidak menggunakan istilah "masyarakat adat," serta tidak mengakui hak-hak mereka atas sumber daya dan wilayah mereka. 

“Lebih jauh lagi, rancangan ini tidak mengakui kontribusi masyarakat adat sebagai penjaga alam yang paling efektif,” kata HRW. 

“ASEAN seharusnya menempatkan hak-hak masyarakat adat sebagai inti dari deklarasi ini, seperti hak untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, hak penguasaan lahan, serta persyaratan mekanisme pelindungan dan akuntabilitas,” kata June Rubis, salah satu pendiri Building Initiatives in Indigenous Heritage Sarawak. 

Human Rights Watch telah mengirim desakan kepada kelompok kerja tersebut agar memasukkan sejumlah ketentuan mengenai akuntabilitas perusahaan, mobilitas terkait iklim – ketika dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut, memaksa masyarakat untuk pindah – dan untuk memastikan bahwa deklarasi itu memajukan hak-hak masyarakat adat.

The Asia Indigenous Peoples Pact, sebuah organisasi akar rumput, mendesak kelompok kerja tersebut agar memastikan masyarakat adat turut berpartisipasi dalam proses penyusunan rancangan itu.

Akuntabilitas perusahaan

Peneliti HRW, Andreas Harsono mengatakan, rancangan tersebut juga masih lemah dalam menangani pertanggungjawaban perusahaan. “Di Kamboja, Indonesia, Malaysia, dan di mana pun, perusahaan sering kali bertanggung jawab atas perusakan lingkungan atau pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Deklarasi tersebut semestinya mencerminkan kewajiban negara untuk mengatur sektor bisnis,” ujar Andreas. 

Di sisi lain, rancangan deklarasi tersebut juga semestinya mengakui perlunya perlindungan hak yang lebih kuat bagi orang-orang yang dipaksa pindah. Ini karena mereka terdesak oleh fenomena kenaikan permukaan air laut dan cuaca esktrem. 

“Deklarasi ini perlu menampungnya. Relokasi yang terencana semestinya dipimpin oleh masyarakat dan dilaksanakan dengan transparansi, partisipasi, dan non-diskriminasi,” kata Andreas. 

Pembahasan draf perlindungan lingkungan hidup ASEAN ini terjadi di tengah-tengah gelombang panas yang melanda jutaan orang di Asia Tenggara sejak April hingga awal Mei lalu. Manila, misalnya, mencapai suhu setinggi 45 derajat Celcius, yang memicu penutupan ribuan sekolah. Sementara itu Thailand melaporkan suhu panas menyebabkan 30 orang meninggal akibat pitam panas atau heatstroke. Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Bangladesh juga mengalami suhu di atas 40 derajat Celcius. 

Sementara itu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyatakan suhu maksimum harian di Indonesia mencapai 37,2 derajat Celcius, yang tercatat di stasiun pengamantan BMKG di Ciputat pekan lalu. Secara umum, rata-rata suhu tertinggi di sejumlah lokasi berada di angka 34°C - 36°C hingga saat ini.

Menurut HRW, peristiwa gelombang panas ini menggarisbawahi perlunya kesepakatan mengenai rincian deklarasi hak-hak lingkungan hidup di tingkat ASEAN.