LIPUTAN KHUSUS:

Hidup Jomplang Warga di Smelter Nikel


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Debu hitam membunuh warga secara perlahan, kata Walhi Sulawesi Utara.

Energi

Kamis, 18 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Hilirisasi nikel dianggap tidak membawa manfaat apapun bagi masyarakat sekitar tambang dan smelter nikel. Proses pengolahan nikel mentah atau biji nikel menjadi bahan baku berbagai produk akhir seperti baterai listrik itu justru menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi masyarakat. Demikian menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra).

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sultra, Andi Rahman, mengatakan di Sultra ada tiga smelter nikel yang beroperasi, yakni milik PT Aneka Tambang (Antam), PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS). Smelter-smelter tersebut menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dalam operasi produksinya.

Keberadaan PLTU captive di smelter-smelter ini, menurut Andi, membuat emisi karbon dioksida (CO2) di daerah lokasi smelter meningkat. PLTU batu bara milik PT VDNI misalnya, kapasitas daya listrik yang dihasilkan 8 unit turbin pembangkitnya mencapai 530 MW, tak terbayang berapa banyak batu bara yang dibakar PLTU tersebut setiap harinya, dan berapa banyak emisi CO2 yang dihasilkan.

Yang lebih gawat, pembakaran batu bara PLTU ini telah membuat warga yang tinggal di sekitar smelter menjadi menderita. Hal tersebut dialami warga yang tinggal di sekitar smelter PT VDNI, di Desa Lambuluo, Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe Utara, Sultra.

Tampak dari ketinggian kawasan industri nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Sulawesi Tenggara./Foto: Auriga/Yudi Nofandi

"Setiap bangun pagi lantai dan dinding rumah warga dipenuhi debu hitam,” kata Andi, menuturkan ulang kesaksian warga, Rabu (17/4/2024).

Debu hitam dimaksud sisa hasil pembakaran batu bara oleh aktivitas operasi produksi PLTU di smelter. Saking pekatnya debu, kata Andi, tiap menjelang sore hari warga di desa tersebut menutup rapat pintu rumahnya masing-masing. Sebab angin di sore hari bertiup kencang, membawa debu itu masuk ke dalam rumah.

"Warga di desa itu sudah mulai merasakan sesak nafas. Sering sakit-sakitan. Bahkan ada satu orang yang sudah rusak matanya akibat debu masuk di matanya. Debu hitam ini membunuh warga secara perlahan, belum lagi mahalnya (biaya) kalau pergi berobat," tuturnya.

Sebelum ada smelter, Andi melanjutkan, profesi sebagian besar masyarakat di desa itu adalah nelayan, dan hasil tangkapannya cukup untuk membiayai pendidikan dan hidup warga sehari-hari. Namun sejak smelter nikel itu beroperasi, wilayah tangkap masyarakat menjadi rusak, akibat pembuangan limbah air panas smelter dan aktivitas tongkang ore nikel dan batu bara yang lalu lalang di wilayah tangkap nelayan.

“Jadi kalau dulu kerja masyarakat menangkap ikan dan menjual, kalau saat ini biar mau makan ikan sudah tidak bisa,” kata Andi, menuturkan pernyataan warga.

Andi mengungkapkan, berdasarkan temuan lapangan Tim Walhi Sultra, masyarakat di Kecamatan Motui mulai merasakan serangan debu hitam yang dihasilkan PLTU di smelter-smelter milik PT VDNI dan PT OSS sejak 2022 lalu. Selain mengakibatkan air bersih dan air laut tercemar, debu batu bara itu juga mulai mengakibatkan warga sesak nafas.

Kemudian sekitar 151 hektare tambak milik masyarakat tercemar dan tak bisa digunakan lagi. Terhitung sekitar 4.000 jiwa terancam debu hitam batu bara milik kedua perusahaan tersebut.

"Sebanyak 18 KK nelayan yang kehilangan pekerjaan akibat rusaknya wilayah tangkapan mereka. Beberapa masyarakat mulai migrasi/pindah tempat tinggal karena masalah kebisingan dan kualitas udara," ungkap Andi.

Andi menuturkan, masyarakat sudah sering menyampaikan keluhan atas kebijakan hilirisasi industri nikel yang digaungkan pemerintah. Sebab masyarakat menganggap hilirisasi ini hanya merugikan mereka dan menguntungkan sekelompok orang tertentu.

"Intinya, semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan hilirisasi industri nikel tidak satupun yang menguntungkan bagi masyarakat," katanya.

Konsep transisi energi menurut Walhi Sultra, kata Andi, tidak seindah yang disampaikan pemerintah. Faktanya hanya dampak buruk yang masyarakat dapatkan dari kebijakan tersebut. Khususnya mereka yang berada di wilayah-wilayah industri tambang dan smelter.

"Ada ketidakadilan yang terjadi kepada masyarakat tingkat tapak. Hal ini yang selalu kami sampaikan, kendaraan listrik itu sebenarnya untuk siapa? Karena kalau lihat selama ini masyarakat yang berada di daerah-daerah industri tambang kerap menjadi korban," kata Andi.

Andi juga mempertanyakan pernyataan pihak PLN Unit Induk Distribusi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat (UID Sulselrabar) yang menyebut penggunaan kendaraan listrik ikut andil dalam mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) hingga 56 persen. Sebab ia merasa pernyataan itu tidak tepat.

Andi Rahman, mengatakan ambisi percepatan kendaraan listrik bukanlah solusi dalam menekan emisi korban di Indonesia. Dalam catatan Walhi, 85 persen sumber energi di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil. Yang mana sekitar 60 persen lebih berbentuk PLTU batu bara.

Selain itu, seperti yang sudah diuraikan di atas, proses produksi salah satu bahan baku baterai kendaraan listrik, yakni nikel, justru memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kerusakan lingkungan, emisi CO2, polusi udara dan meningkatkan deforestasi.

"Sehingga menurut kami tidaklah tepat jika pihak PLN mengatakan kendaraan listrik merupakan solusi untuk mengurangi emisi karbon," kata Andi.

Sebelumnya, General Manager PLN UID Sulselrabar Moch Andy Adchaminoerdin menyebut penggunaan kendaraan listrik ikut andil dalam mengurangi emisi karbon hingga 56 persen. Sehingga Andy mengajak masyarakat untuk beralih dari kendaraan berbasis energi fosil ke kendaraan listrik.

"Dengan menggunakan kendaraan listrik, masyarakat sudah turut berkontribusi untuk mengurangi emisi karbon transportasi sampai 56 persen," kata Andy, dikutip dari Antara, Selasa (16/4/2024).