LIPUTAN KHUSUS:

Pekerjaan Besar Pemerintah untuk Petani Sawit


Penulis : Kennial Laia

Dalam sertifikasi ISPO, pendekatan yurisdiksi atau kewilayahan dinilai paling relevan untuk kondisi petani sawit di Indonesia.

Sawit

Kamis, 11 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah punya pekerjaan besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani sawit. Salah satunya adalah mendorong percepatan keikutsertaan kebun mereka dalam sertifikasi standar mutu pengelolaan industri kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). 

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, capaian ISPO pada 2023 mencapai lebih dari 4,2 juta hektare. Dari luas tersebut, hanya 4% atau 270.800 hektare perkebunan rakyat yang telah disertifikasi. Sisanya adalah perusahaan.

Capaian tersebut juga sekitar 24% dari total luas sawit nasional 17,3 juta hektare. 

Menurut Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Marselinus Andry, petani menghadapi tantangan yang sangat besar dalam mengakses sertifikasi ISPO. Ini karena banyaknya persoalan, mulai dari legalitas, kelembagaan, pembiayaan, hingga pengetahuan yang minim. Selain itu, insentif dan benefit bagi petani belum ada jika dibandingkan sertifikasi lainnya seperti RSPO. 

Ilustrasi seorang petani sawit memanggul tandan buah segar. Foto: WRI Indonesia.

“⁠Di tengah kondisi tersebut, sertifikasi ISPO harus diterapkan karena sifatnya mandatori bagi petani sawit,” kata Andry kepada Betahita.ID, Senin, 8 April 2024. 

ISPO diatur salah satunya dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Perpres 44/2020. Aturan ini langsung berlaku bagi perusahaan, sementara petani diberikan waktu hingga 2025. 

Andry mengatakan, pendekatan ISPO tidak menjamin akses para petani dengan beragam karakteristik. “Karena itu revisi Perpres 44/2020 harus menjawab tantangan tersebut dengan membuka alternatif pendekatan sertifikasi yang menjamin perlindungan dan kesetaraan bagi semua petani dalam mengakses sertifikasi ISPO,” ujarnya. 

Sebelumnya pemerintah telah menyatakan akan merevisi Perpres 44/2020. Ada tiga aspek perubahan yang akan dicantumkan yakni terkait dengan rantai pasok hingga hilir, reformulasi pembiayaan, serta penyempurnaan dan restrukturisasi kelembagaan ISPO. Faktor terakhir didorong agar kredibilitas ISPO diakui negara lain maupun organisasi internasional. 

Revisi Perpres ISPO harus pertimbangkan petani kecil 

Para pegiat dan pendamping perkebunan rakyat mendorong pemerintah agar mempertimbangkan petani kecil dalam proses perubahan Perpres 44/2020. Kepala Sekretariat Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) Rukaiyah Rafik mengatakan, petani di Indonesia memiliki kondisi dan tipe yang berbeda-beda. Ada yang pemula, menengah, dan maju.

Tandan buah segar yang baru dipanen di pinggir jalan kebun sawit rakyat di kampung Sungai Enau, Kabubaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dok Kennial Laia/Betahita

Karena itu standar ISPO yang menyasar petani sebaiknya disederhanakan dengan pendekatan bertahap. “Misalnya tahun pertama ketika mereka masuk sertifikasi, tidak perlu langsung comply 100%, tetapi misalnya 50% dulu,” kata Rukaiyah. 

“Ini model yang bisa menjangkau petani,” kata Rukaiyah.

Selain itu, Kementerian Desa juga harus dilibatkan dalam rencana aksi nasional kebun sawit berkelanjutan (RAN KSB) sebagai salah satu kementerian  penerima mandat percepatan ISPO. 

“Sementara kementerian ini punya dana desa (untuk mendukung petani),” kata Rukaiyah. 

Andry mengatakan, pemerintah juga harus memastikan revisi ISPO menyediakan mekanisme pelibatan petani dalam rantai pasok crude palm oil atau CPO yg bebas deforestasi, terutama dalam kaitannya dengan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDDR). Selain membantu petani mendapatkan akses dan harga yang adil, ini juga membantu perusahaan dalam memastikan sumber bahan baku produksinya terlacak.

“Kita tahu potensi produksi petani sangat besar. Sayangnya, dalam praktik ISPO sebelumnya, tidak ada ketegasan untuk memastikan kemitraan antara petani dan perusahaan yang telah sertifikasi ISPO dalam suplai bahan baku,” kata Andry. 

“Akibatnya daya tarik petani sangat minim. Petani yang sudah tersertifikasi ISPO pun masih menjual ke tengkulak dengan harga rendah,” ujarnya. 

Kementerian Pertanian telah  menyatakan bahwa masih ada 12,1 juta hektare kebun yang belum tersertifikasi ISPO. Luas ini terbagi atas 6,44 juta hektare yang dikelola petani/pekebun, dan 5,71 juta hektare dikelola perusahaan. 

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian Prayudi Syamsuri mengatakan bahwa pihaknya telah mewajibkan setiap perusahaan di industri kelapa sawit untuk segera melakukan sertifikasi. Sementara itu petani diberikan waktu tambahan tiga tahun. 

"ISPO ini yang kita ketahui untuk perusahaan sudah mandatori dan untuk pekebun tiga tahun ke depan kita akan lakukan mandatori," kata Prayudi dikutip Kompas.com. 

Pendekatan yurisdiksi paling relevan 

Untuk menerapkan ISPO, petani harus lebih dulu menyelesaikan berbagai permasalahan. Di antaranya kelembagaan, legalitas lahan, dan tumpang tindih dalam kawasan hutan. Deretan masalah ini tidak memungkinkan semua petani untuk mengikuti ISPO secara cepat. 

Data Kebun sawit di Indonesia. Sumber: BPS 2022

Menurut Andry, mekanisme paling relevan bagi petani adalah pendekatan sertifikasi yurisdiksi atau kewilayahan. “Pendekatan ini lebih relevan dengan beragam karakteristik petani dan kebutuhan untuk menyelesaikan tantangan yang ada di tingkat petani dalam sertifikasi,” kata Andry. 

Menurut Andry, sertifikasi yurisdiksi ini memungkinkan pemerintah secara proaktif bersama multipihak termasuk pelaku usaha dalam menerapkan sertifikasi dalam batas yurisdiksinya baik pada level desa, kecamatan, atau kabupaten. Pendekatan ini memungkinkan petani memiliki akses yg sama dalam melakukan sertifikasi, karena peran pemerintah akan lebih besar mulai dari perangkat kebijakan, sumber daya manusia, program, dan pembiayaannya. 

“Kami berharap, sebagai bagian dari strategi percepatan dan pencapaian target sertifikasi, pendekatan sertifikasi yurisdiksi diakomodir dalam revisi Perpres ISPO maupun aturan turunannya,” kata Andry.  

“Target capaian sertifikasi ISPO yang ambisius hanya mungkin jika pelaksanaannya dengan pendekatan yurisdiksi,” ujarnya. 

Keterlibatan organisasi pendamping penting 

Selama 14 tahun, lembaga atau organisasi pendamping seperti organisasi petani dan NGO pemerhati isu keberlanjutan memiliki peran penting, termasuk dalam membantu petani mengakses sertifikasi ISPO. 

Menurut Andry, petani harus melibatkan organisasi yang telah membantu petani kecil dan menggunakan pengetahuan dan pengalamannya sebagai masukan untuk revisi aturan ISPO. 

“Pelaksanaan ISPO harusnya lebih inklusif. Artinya akses yang sama bagi lembaga atau organisasi pendamping dalam memfasilitasi sertifikasi atau memberi pelatihan ISPO kepada petani. Hal ini akan jauh lebih cepat dalam mengejar ketertinggalan sertifikasi ke depan,” kata Andry.