LIPUTAN KHUSUS:
MK Batalkan Pasal Berita Bohong, Tapi Masih Ada UU ITE
Penulis : Gilang Helindro
Jika penegak hukum ingin main mata, Pasal 28 ayat (2) UU ITE bisa dipakai untuk menggantikan Pasal 14 dan 15 UU nomor 1 tahun 1946
Hukum
Kamis, 28 Maret 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 14 dan 15 tentang penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Namun, Roni Saputra, Direktur Direktorat Penegakan Hukum Auriga Nusantara menilai, ke depannya masih banyak tantangan terkait kebebasan menyampaikan informasi, karena terlalu banyak aturan yang bersifat karet yang ada di Indonesia. Jika pasal 14 dan 15 dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat, kata dia, masih ada satu pasal yang serupa, yaitu pasal 28 ayat (2) UU ITE.
“Artinya jika penegak hukum ingin main mata, bisa saja dengan menerapkan pasal 28 ayat (2) UU ITE, untuk menggantikan pasal 14 dan 15 UU nomor 1 tahun 1946,” ungkap Roni, Rabu, 27 Maret 2024.
Menurut Roni, putusan MK bersifat final dan mengikat. Artinya sejak dinyatakan konstitusional atau tidak konstitusional suatu pasal dalam Undang-undang, maka setelah dibacakan putusan langsung berkekuatan hukum tetap dan berlaku pada saat itu juga. “Putusan MK bersifat final dan mengikat pada saat itu juga,” kata Roni.
Konsekuensinya, terkait dengan proses penegakan hukum pidana, kita bisa merujuk pada asas hukum transitoir. "Asas hukum pidana ini menjelaskan bila ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya,” ungkap Roni.
Berdasarkan asas ini, maka setiap orang yang dikenakan pasal 14 dan 15 UU nomor 1 tahun 1946 harus dibebaskan atau dilepaskan. “Pasal tersebut dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat, karena kekuatan hukum mengikatnya tidak ada, maka otomatis pasal tersebut tidak berlaku,” ungkap Roni.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanti, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang menyoal Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, Pasal 310 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (3) UU 9/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Mereka didampingi tim kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi.
Menurut Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan putusan MK, pasal Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dinilai sebagai pasal karet yang tidak jelas parameter atau tolok ukurnya, sehingga berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam penerapannya.
Enny menyebut, pasal tersebut dapat digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang sebenarnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa. Apabila hal ini terjadi, kebebasan warga untuk berpendapat dapat terancam aktualisasinya. Sebab, hal yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subyektif dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan.
Terlebih, kata Enny, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna keonaran dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.
”Hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945,” kata Enny dikutip Kamis, 21 Maret 2024.