LIPUTAN KHUSUS:

Ancaman Perkebunan Sawit di Lembah Grime Nawa


Penulis : Aryo Bhawono

Aktivitas PT PNM tak hanya meresahkan Lembah Grime Nawa di Jayapura namun juga membahayakan satwa dan diduga melanggar hukum.

SOROT

Senin, 06 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Suara Abner Tecuari meninggi ketika bertemu dengan perwakilan PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di rumahnya, Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua pada November 2021 lalu. Perusahaan itu selalu berkelit ketika ia meminta salinan dokumen persetujuan adat dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atas konsesi perusahaan. Namun hingga hutan miliknya sebagian dibabat, tak satupun dokumen sampai ke tangannya.

Abner adalah orang tertua dari marga Tecuari, salah satu suku pemilik lahan dalam konsesi perkebunan sawit PT PNM di lembah Grime Nawa, Kabupaten Jayapura, Papua. Ia tak pernah memberikan tanda tangan persetujuan terhadap perkebunan sawit di hutan miliknya. 

Lembah Grime Nawa adalah sebutan wilayah dataran rendah dan perbukitan di selatan dan tengah Kabupaten Jayapura dengan luas ±900.000 ha atau 65% luas kabupaten, membentang dari Distrik Kemtuk di timur sampai Distrik Airu di Selatan. Grime dan Nawa adalah 2 (dua) sungai besar.. 

Tanda tangan Abner seharusnya terbubuh dalam dokumen yang dimintanya. Namun ia tak merasa memberikan persetujuan. Perusahaan pun nekat membuka lahan. 

Pembukaan hutan untuk lahan sawit oleh PT PNM di Jayapura, Papua. Kredit Foto: Auriga Nusantara

“Itu bukti mereka tidak mendapat persetujuan dari saya. Mereka hanya mengaku memberikan kepada warga yang setuju. Kepada saya, hingga kini tak ada,” ucapnya ketika berbincang dengan betahita di kediamannya.

Sejak 2021 lalu, ia memendam was-was dengan aktivitas perusahaan perkebunan sawit itu. Kala itu ia sedang berada di Jakarta, namun kabar dari anaknya menyebutkan perusahaan mulai beraktivitas membuka lahan sawit. 

Permintaan untuk menunda aktivitas melalui sambungan telepon tak digubris perusahaan hingga Abner pun pulang dan mengundang perwakilan perusahaan ke rumahnya. Namun lagi-lagi, permintaan dan keluhannya tak digubris, alat berat dan pekerja berdatangan.

Absennya persetujuan adat bukan satu-satunya masalah PT PNM. Pada 5 Januari lalu Presiden Joko Widodo mencabut izin-izin konsesi kawasan hutan. Menteri KLHK pun kemudian mengeluarkan SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Pelepasan Kawasan Hutan. PT PNM termasuk dalam daftar perusahaan itu. 

KLHK mencabut SK Nomor 680/MENHUT-II/2014 tentang pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit atas nama PT Permata Nusa Mandiri seluas 16.182 Ha.

Keluarnya SK ini tak membuat perusahaan untuk menghentikan aktivitas. Pantauan citra satelit yang dilakukan oleh Auriga Nusantara menunjukkan pada bulan Januari hingga Maret 2022 PT Permata Nusa Mandiri telah melakukan pembukaan lahan (deforestasi) seluas 131,66 Hektar. 

Pembukaan lahan secara berturut-turut, seluas 6 Ha pada Januari, seluas 50,60 Ha pada bulan Februari, dan seluas 75,04 Ha pada bulan Maret 2022. 

Analisis citra satelit menunjukkan dugaan pembukaan lahan ilegal di wilayah adat Lembah Grime Nawa.

Pantauan lapangan yang dilakukan Betahita pada April lalu, jejak penebangan menyisakan lahan terbuka. Bukaan lahan di hutan alam nampak dari pinggir Jalan Korea. Beberapa lokasi penebangan dijaga oleh pihak keamanan PT PNM dari dalam pos. 

Lebih lanjut lagi PT PNM diduga melakukan pembukaan areal hutan yang berdekatan dengan areal Sungai Sarmowai. Sungai ini merupakan salah satu anak sungai yang berada di Kabupaten Jayapura. 

Hasil perhitungan 3 titik jarak terdekat antara sungai dan area yang dibuka (land clearing) memiliki jarak terdekat yaitu pada titik pertama 69,48 meter, titik kedua 82 meter dan titik ketiga 49 meter. 

Peraturan Menteri PUPR No.28 Tahun 2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau menyebutkan penetapan garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul yang berada di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit 50 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. 

Penetapan garis sempadan ini merupakan upaya perlindungan dan pengendalian untuk mengurangi daya rusak air sungai terhadap lingkungannya. Area dengan jarak 50 meter dari bibir sungai seharusnya ditetapkan sebagai areal konservasi. 

“Maka jika benar adanya, selain melakukan deforestasi PT PNM turut berpotensi untuk melanggar peraturan yang ada terkait penetapan garis sempadan sungai yang seharusnya ditetapkan sebagai areal konservasi,” lanjut laporan tersebut.

Membuat Resah Warga Grime Nawa

PT PNM sendiri merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengantongi izin lokasi untuk lahan sekitar 32.000 Hektar dari Bupati Jayapura pada 2011. Sedangkan izin lingkungan mereka miliki sejak 2014. 

Perusahaan ini mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) No 01/SK.IUP/KS/2014 yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DMTSP) Kabupaten Jayapura seluas 30.920 Ha. IUP ini meliputi distrik Unurum Guay, Namblong, Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, Kemtuk Gresi pada 28 Maret 2014.

Cakupan luas wilayah konsesi PT PNM ini juga membuat resah warga lembah Grime Nawa lainnya. Lembah luas ini dihuni oleh 7 suku asli yakni Kemtuik, Klisi, Elseng, Namblong/Nimboran, Orya, Kaureh dan Kautabakhu. 

Yustus Apainabo, pemuda Kampung Mamei di Distrik Kemtuk mengaku merasa terancam dengan keberadaan PT PNM. Ia menyebutkan, para pemimpin kampung dan suku merasa tidak memberikan persetujuan apapun terkait perusahaan itu. Kini dengan aktivitas mereka maka tanah dan hutan mereka terancam. 

Namun ia tak tinggal diam. Ia melakukan sosialisasi ke kampung mengenai keberadaan PT PNM. 

“Saya sudah sosialisasi, perusahaan ini tak hanya mengancam kebun dan hutan tetapi juga pemukiman dan kehidupan kami,” ucapnya.

Hasilnya, Masyarakat adat Mamei di Kabupaten Jayapura, Papua menyerukan penolakan PT PNM. Ondoafi Kampung Mamei, Marthen Samon menyebutkan tak tahu menahu dengan konsesi perusahaan itu di kampungnya. Artinya, selama ini tidak ada persetujuan adat. 

“Kami melihat ini adalah perampasan hak hidup masyarakat adat,” ucap Ondoafi Kampung Mamei, Marthen Samon.

Mereka pun turut mendesak Bupati Jayapura, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dan Kanwil Pertanahan Papua untuk mencabut semua izin, termasuk izin lokasi, HGU, dan IUP perusahaan itu. Mereka juga ingin pemerintah mengeluarkan surat pengakuan terhadap masyarakat adat. 

Mengancam satwa

Deforestasi akibat pembukaan lahan sawit PT PNM ini mengancam keberadaan satwa endemik. Lokasi pembukaan lahan ini berdekatan dengan Isyo Hill’s Bird Watching di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura yang dikelola oleh Alex Waisimon. 

Tempat ini merupakan lokasi pemantauan burung endemik, seperti kasuari gelambir tunggal, mambruk victoria, dan berbagai jenis cenderawasih. 

Penghitungan melalui peta spasial, jarak lahan terbuka pada April lalu dengan lokasi tersebut hanya terpaut sekitar 4,5 kilometer. Padahal selama ini hutan alam di kawasan tersebut merupakan habitat pendukung berbagai burung endemik. 

Jika hutan alam itu berganti dengan perkebunan sawit, maka burung-burung itu dikhawatirkan akan ikut lenyap. 

Sementara itu, Pemerintah Jayapura sendiri sudah mengeluarkan penghentian sementara operasi PT PNM di wilayah Nimborang. Kepala Dinas PMPTSP Kabupaten Jayapura Delila Giyai, mengeluarkan surat No 001/PNM/JPR/II/2022 Tentang Penghentian sementara Kegiatan Pembukaan Lahan Land Clearing dan operasional di lapangan pada awal maret lalu. 

“Penghentian sementara, kenapa kita berhentikan karena ada SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 5 januari 2022 sehingga kami menindaklanjuti dan menghentikan dulu,” ungkap nya seperti dikutip dari Paraparatv