LIPUTAN KHUSUS:

Proses Izin HGU PT. SRK Diduga Tipu Warga Adat


Penulis : Aryo Bhawono

PT SRK dan BPN memberi janji memberikan sertifikat plasma namun yang terbit justru HGU perusahaan.

Sawit

Selasa, 21 Desember 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Masyarakat Adat Moskona Selatan, Teluk Bintuni, Papua, tolak operasi perkebunan sawit milik PT. Subur Karunia Raya (SKR). Perusahaan itu akan menguasai lahan adat selama 95 tahun. 

Perwakilan pemuda adat dari Kampung Jagiro di Distrik Moskona Selatan, Arnoldus Yerkohok menganggap HGU yang diperoleh PT. SKR dilakukan melalui proses penipuan masyarakat. Perusahaan itu mengantongi SK Kepala BPN Provinsi Papua Barat No. 1/SKHGU/BPN-92/IX/2021 untuk beroperasi di Distrik Moskona Selatan dan Distrik Meyado, Kabupaten Teluk Bintuni per 17 September 2021. 

Perusahaan itu dan pihak BPN Cabang Bintuni pernah datang di kampung dan menyampaikan akan melakukan pengukuran tanah hingga ke dalam kampung dan berjanji akan memberikan sertifikat kepada masyarakat dalam rangka pembangunan Kebun Plasma. 

“Tapi sampai saat ini masyarakat belum melihat dan pegang sertifikat yang dijanjikan itu. Namun dengar kabar ternyata sertifikat HGU perusahaan malah sudah terbit,” ucapnya dalam keterangan pers. 

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Foto: Greenpeace

HGU ini memberikan penguasaan lahan kepada pemegang izin selama paling lama 35 Tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 Tahun. Setelah jangka waktu pemberian dan perpanjangan HGU berakhir maka maka dapat diberikan pembaruan izin HGU di atas tanah yang sama dalam jangka waktu 35 Tahun. Sehingga total lahan yang dapat dikuasai dan digunakan yaitu 95 tahun.

Arnoldus merasa lamanya penguasaan tanah ini tak adil. Apalagi masyarakat hanya diberikan 20 persen dari total tanah. 

Selain itu sistem pengukuran dan pembagian sudah disiapkan oleh perusahaan dan BPN. Selama berada di kampung, hanya memberikan perintah. “Ini yang kami tidak suka,” imbuhnya. 

Aktivis Perkumpulan Panah Papua, Sulfianto Alias, menyatakan perilaku perusahaan itu merupakan bujuk rayu untuk membuat masyarakat rela melepaskan lahan. Investasi perkebunan sawit selalu membawa embel-embel berupa iming-iming pemberian sertifikat tanah kepada masyarakat. Setelah pelepasan dari masyarakat adat diberikan kepada pemegang izin, maka perusahaan mengurus HGU miliknya. 

Kebijakan Reforma Agraria dalam Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) yang digagas oleh pemerintah memang memberikan kewajiban perusahaan untuk mengalokasikan tanah sebesar 20 persen dari luas HGU kepada masyarakat. Namun ia menilai pembagian ini tidak adil bagi masyarakat adat, sebab masyarakat adat hanya memperoleh seperlima bagian dalam HGU sedangkan pemegang izin memperoleh empat perlimanya, 

“Jadi kalau luas HGU 100 hektar, maka tanah untuk masyarakat hanya 20 hektar sedangkan 80 hektar adalah milik perusahaan. 

Saya menduga penerbitan SK HGU ini tanpa melalui proses Prosedur Penerapan Persetujuan Atas Informasi Awal dan Tanpa Paksaan (PADIATAPA) secara baik dan berpotensi menimbulkan konflik. Semestinya pemegang izin dan pemerintah harus terbuka soal tujuan dan proses perolehan lahan menurut aturan yang berlaku sehingga masyarakat memahami dan menerima tujuan pengurusan HGU. Perusahaan pun wajib menyampaikan keuntungan maupun kerugian yang diperoleh ketika SK HGU diterbitkan 

“Kami juga meminta Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni melakukan peninjauan kembali terhadap izin perkebunan sawit yang saat ini sedang beroperasi karena menimlbulkan banyak masalah,” tandasnya.