LIPUTAN KHUSUS:

Menilik Deforestasi Pemicu Banjir Kalteng


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kalteng mengalami deforestasi sebesar 1,9 juta hektare dalam kurun waktu 20 tahun (2000-2019). Deforestasi ini diduga ikut memicu terjadinya banjir.

Ekologi

Rabu, 01 Desember 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Banjir melanda sejumlah wilayah di Kalimantan Tengah (Kalteng) beberapa tahun terakhir. Bahkan tahun ini genangan air dalam dengan wilayah yang cukup luas itu merendam Kalteng dua kali. Perubahan alam skala besar, berupa hilangnya tutupan hutan alam atau deforestasi, diduga menjadi penyebab daya tampung dan daya dukung lingkungan di Kalteng kepayahan menyebabkan banjir.

Secara hidrologis, di Kalteng mengalur beberapa sungai besar, berdasarkan panjang dan lebarnya, yaitu Sungai Barito, Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan yang berhulu di sektor utara Kalteng. Sejalan dengan kondisi fisiografi wilayah, sungai-sungai utama mempunyai itu kemiringan yang rendah hingga ke sektor tengah, sehingga jangkauan pengaruh pasang air laut, khususnya pada musim kemarau, relatif jauh.

Sebaliknya di musim hujan, air sungai sering meluap ke wilayah dataran yang dilintasinya. Selain itu, rawa gambut terdapat hingga ke sektor tengah dan pada bagian yang lebih hilir terdapat rawa pasang surut. Sedangkan wilayah bagian hulu dialiri anak-anak sungai berpola dendritik dengan kemiringan tinggi bahkan beriam.

Sumber: Kalimantan Tengah Dalam Angka 2019

Tampak dari ketinggian sebagian hutan di wilayah adat Kinipan telah terbabat untuk perkebunan sawit PT SML./Foto: Betahita.id

Perubahan besar lingkungan, terutama hilangnya tutupan hutan alam, pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalteng diduga kuat menjadi salah satu penyebab terjadinya genangan air atau banjir yang merendam sejumlah wilayah di Kalteng.

Baru-baru ini Save Our Borneo (SOB) melakukan analisis terhadap tutupan hutan alam di Kalteng menggunakan platform Mapbiomas Indonesia. Berdasarkan data Mapbiomas Indonesia, total deforestasi di 14 kabupten/kota di Kalteng, dari 2000 hingga 2019, luasnya mencapai 1,9 juta hektare.

Dilihat dari dinamika tutupan lahan dalam rentang waktu itu, hilangnya tutupan hutan Kalteng tersebut, disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor paling besar adalah karena alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit, tambang dan hutan tanaman industri. Selain itu, hilangnya tutupan hutan ini juga disebabkan kegiatan HPH, pembangunan jalan, permukiman, pertanian pangan, kebakaran hutan, dan lain-lain.

Sumber: Mapbiomas Indonesia

"Menurut kami, banjir di Kalteng ini sejalan dengan laju deforestasi yang terjadi saat ini. Artinya banjir akan semakin parah seiring dengan semakin parahnya juga tutupan hutan yang hilang di Kalteng," kata Pinarsita, Pegiat SOB, Selasa (30/11/2021),

Pinar bilang, dari pendalaman yang SOB lakukan, banjir yang menggenangi dan memutus jalur transportasi di ruas jalan provinsi di Desa Penda Barania, Kecamatan Kahayan Tengah, Pulang Pisau beberapa wajtu lalu, merupakan kejadian banjir yang terparah yang pernah terjadi di daerah itu.

"Kami juga cek di data yang ada di Mapbiomas Indonesia, nyatanya di DAS Kahayan itu laju kehilangan hutannya 50 kali luas lapangan sepakbola per harinya. Artinya ada 18 ribu hektare hutan hilang per tahunnya hanya di DAS Kahayan saja."

Dari luasan 1.910.197 hektare hutan alam yang hilang dalam kurun waktu waktu 20 tahun itu, 296.257 hektare di antaranya disumbang oleh Kabupaten Kapuas. Kapuas menjadi kabupaten terluas terjadi deforestasi di Kalteng. Diikuti oleh Kabupaten Kotawaringin Timur dengan luas deforestasi 270.554 hektare.

Sumber: Mapbiomas Indonesia

Betahita juga menggunakan Mapbiomas Indonesia untuk melihat perubahan hutan alam di Kalteng. Tutupan hutan alam di Kalteng pada 2000 tercatat seluas 10.145.383 hektare. Namun 20 tahun kemudian, pada 2019, tutupan hutan alam di provinsi ini menyusut menjadi 8.235.186 hektare. Deforestasi terluas di Kalteng terjadi pada 2016 seluas 215.154 hektare, dan pada 2007 seluas 194.445 hektare.

Sumber: Mapbiomas Indonesia

Bila dilihat menurut periode pemerintahan kepala negara, per lima tahun, deforestasi terbesar terjadi di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015-2019), yang menunjukkan angka luas mencapai 725.647 hektare. Dalam rentang waktu tersebut deforestasi di Kalteng stabil di atas angka ratus ribu hektare. Bila dirata-rata, deforestasi di provinsi berjuluk Bumi Tambun Bungai itu per tahunnya sebesar 145.129,4 hektare.

Periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (2005-2009) deforestasi juga cukup besar, tercatat mencapai 586.796 hektare, dengan rata-rata deforestasi per tahun sebesar 117.359 hektare. Sedangkan di periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudoyono (2010-2014) luas deforestasi mencapai 412.804 hektare, rerata luas deforestasi per tahunnya sebesar 82.560 hektare.

Di masa pemerintahan Presiden Megawati (2002-2004), deforestasi terjadi seluas 157.634 hektare. Luas rata-rata deforestasi per tahunnya seluas 52.545 hektare. Sementara pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (2000-2001) luas deforestasi di Kalteng hanya sekitar 19.606 hektare.

Berdasarkan analisis data yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara, kegiatan usaha berbasis lahan di Kalteng, khususnya sawit, tambang, hak pengusahan hutan dan hutan tanaman, berdasarkan izin usaha yang diterbitkan, ada sebanyak 675 izin. Dengan total luas izin sebesar 9.489.855 hektare.

Bila dirinci, Izin Usaha Perkebunan (IUP) Sawit di Kalteng berjumlah 227 izin dengan total luas mencapai 2.411.191 hektare, Izin Usaha Pertambangan 347 izin seluas 2.163.149 hektare, Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan-Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau HPH 62 izin seluas 4.034.352 hektare dan IUPHHK-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) atau HTI 39 izin seluas 881.164 hektare.

Sumber: Kompilasi Data Auriga

Sumber: Webgis Kementerian ESDM

Sumber: Webgis KLHK

Sumber: Webgis KLHK

Direktur Informasi dan Data Yayasan Auriga Nusantara, M. Dedy Sukmara mengatakan, hilangnya tutupan hutan alam, termasuk akibat konversi hutan alam oleh kegiatan usaha berbasis lahan yang dijalankan perusahaan, sangat mempengaruhi daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Menurut Dedy, apabila deforestasi itu terjadi di daerah aliran sungai, akibatnya tanah akan kehilangan daya serapnya. Dijelaskannya, tutupan hutan yang hilang akan mengakibatkan proses intersepsi tidak terjadi. Hal itu akan menyebabkan infiltrasi air hujan ke dalam tanah tidak berjalan dengan baik. Air hujan cenderung akan begitu saja terlimpas ke saluran air atau sungai.

"Selain itu. Limpasan air bisa menyeret atau mendorong segala material yang dilewati air dan terbawa masuk sungai, itu akan mengakibatkan sedimentasi terjadi. Pengaruhnya bagaimana? Sungai jadi dangkal, daya tampungnya rusak. Kalau terjadi hujan lebat berhari-hari, air sungai meluap," kata Dedy, Selasa (30/11/2021).

Dedy menambahkan, banjir kini bisa jadi juga disebabkan oleh kerusakan lingkungan atau deforestasi di daerah resapan di bagian hulu dan di wilayah tangkapan air di bagian hilir yang terjadi di masa lalu.

"Deforestasi kadang memang tidak berimplikasi secara langsung. Misalnya pembabatan hutan untuk tambang di bagian hulu sungai, dampaknya baru terjadi 10 tahun setelahnya. Jadi tetap ada hubungan antara deforestasi masa lalu dengan bencana banjir sekarang."

Sebelumnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng menilai, banjir berulang di Kalteng ini merupakan pertanda nyata kondisi lingkungan yang semakin kritis di Kalteng. Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalteng, Dimas N. Hartono mengatakan, pemerintah harus segera melakukan audit terhadap kondisi lingkungan di Kalteng, bukannya saling lempar tanggung jawab. Dengan melakukan audit lingkungan, perizinan perusahaan-perusahaan yang menjalankan aktivitas eksploitasi sumber daya alam skala besar juga akan dilakukan evaluasi.

"Banjir yang kini terjadi di berbagai wilayah di Kalteng harusnya dijadikan indikator bagi Pemerintah Daerah bahwa Kalteng saat ini sudah berada di ambang titik krisis ekologis," kata Dimas, lewat pernyataan tertulisnya, Kamis (18/11/2021).