Beberapa Hal Harus Dilakukan untuk Hindari Konflik Lahan di IKN

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Jumat, 01 April 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sejumlah proses persiapan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) telah berlangsung, mulai dari pelantikan Kepala Otorita IKN hingga penerbitan sejumlah aturan untuk mendukung terlaksananya perpindahan dari Jakarta menuju Kalimantan Timur dengan lancar. Pemerintah mengklaim pembangunan IKN akan mengedepankan prinsip ekonomi hijau untuk kelestarian lingkungan dan ekonomi berkelanjutan secara nyata.

Beberapa peraturan turunan yang dibuat untuk memastikan komitmen tersebut antara lain, Perpres tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategi Nasional (KSN) IKN, Perpres tentang Pembagian Wilayah IKN dan Peraturan Kepala Otorita IKN tentang Rencana Detail Tata Ruang IKN.

Adapun wilayah cakupan wilayah IKN mencapai 256.142 hektare yang berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur dengan kawasan inti yang ada di Kecamatan Sepaku seluas 6.671 hektare.

Sesuai dengan pengakuan masyarakat setempat, kawasan tersebut masih memiliki status Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). Artinya, penduduk yang tinggal di kawasan ini bisa sewaktu-waktu direlokasi karena kawasan mereka belum beralih menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga belum bersertifikasi hak milik.

Presiden Jokowi bersama para Ketua MPR, para menteri dan 34 gubernur se-Indonesia serta tokoh masyarakat melakukan kegiatan penanaman tanaman endemik Indonesia di Titik Nol IKN./Foto: KLHK

Masyarakat sipil berpendapat, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk memastikan komitmennya tersebut.

Pertama, penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam pembangunan IKN. Prinsip FPIC, pada dasarnya adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi (informed) sebelum (prior) sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan di wilayah mereka. Berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas (free) bisa menyatakan setuju (consent) atau menolak.

Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusaka Bentala Rakyat & Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), Emil Kleden mengatakan, prinsip dasar ini penting untuk dijadikan panduan utama bagi pemerintah dalam menjalankan pembangunan IKN. Emil menegaskan, sumber konflik lahan pada umumnya terkait dengan hak masyarakat atas tanah. Hak tersebut perlu dipenuhi agar proses pembangunan mendapatkan dukungan ke depannya.

“Interaksi penyelenggara IKN dengan masyarakat setempat mengenai hak atas tanah perlu diperjelas. Kalau tidak dibereskan, maka konflik akan terus terjadi dan merusak relasi kedua pihak dalam jangka panjang. Jangan sampai langkah represif menjadi solusi yang diambil untuk menyelesaikan konflik. Selain membutuhkan biaya besar, dinamika relasi yang kurang kondusif ini akan menimbulkan konflik susulan di masa depan,” kata Emil, dalam pernyataan tertulis yang diterima, Kamis (31/3/2022).

Penerapan prinsip FPIC ini bisa dilakukan dengan cara memastikan bahwa persetujuan Masyarakat Adat ini disepakati tanpa merugikan pihak tertentu dari komunitas tersebut (seperti perempuan dan anak muda), tidak didasari informasi yang menyesatkan, serta penafsiran sepihak akan hukum yang berlaku.

“Keterbukaan informasi bagi Masyarakat Adat sangat vital. Komitmen pemerintah untuk memastikan hak tanah seseorang secara benar akan sangat diapresiasi. Jika pemerintah merasa memasang patok adalah solusi terbaik dan tercepat untuk meredam konflik, maka hal ini justru bisa menjadi masalah serius di kemudian hari. Jangan sampai praktik seperti itu dipertahankan dalam pengadaan tanah untuk IKN,” imbuh Emil.

Yang kedua, pemetaan lahan lokasi IKN terhadap Hutan Adat. langkah lain yang bisa dilakukan pemerintah secara lebih seksama adalah melakukan pemetaan tata ruang lokasi pembangunan IKN terhadap hutan adat. Misalnya, apakah ada persinggungan lahan IKN dengan wilayah hutan adat, bagaimana dampak pembangunan tersebut terhadap hak Masyarakat Adat atas tanah mereka, dan sebagainya.

Pakar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada Rikardo Simarmata menuturkan, langkah awal pemetaan adalah dengan mengumpulkan data seputar kepemilikan lahan atau tanah yang digunakan untuk IKN. Kepemilikan bisa jadi oleh individu dan kelompok. Apalagi di sekitar lokasi IKN kini sudah banyak pendatang, bahkan dari luar pulau, seperti dari Jawa maupun Sulawesi.

"Mereka di sana sudah bergenerasi. Orang-orang dari Jawa didatangkan untuk industri migas dan untuk proyek transmigrasi. Orang-orang dari Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah datang untuk alasan memperbaiki hidup. Jadi, klaim adanya tanah adat dengan penguasaan komunal di sekitar lokasi IKN memang perlu dilakukan dengan hati-hati," kata Rikardo.

Terlepas dari itu, lanjut Rikardo, untuk keperluan perolehan tanah untuk IKN, pemerintah harus serius melakukan pendataan kepemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah. Hal itu perlu dilakukan.

"Karena bagi tanah-tanah yang tidak bersertifikat dan berada di Areal Penggunaan Lain, Kantor Pertanahan setempat tidak memegang datanya. Harus mendapatkannya di kantor desa atau kecamatan,” ujarnya.

Yang ketiga, tata kelola IKN yang mengedepankan ekonomi hijau. Potensi konflik yang terjadi antara pembangunan dan kelestarian hutan sering kali dipicu kepentingan ekonomi. Penyelenggaraan ekonomi hijau diharapkan mampu menjembatani potensi konflik kepentingan agar masyarakat sekitar merasakan manfaat ekonomi sekaligus menerima manfaat dari keseimbangan ekologi yang terjaga dengan baik.

Menurut Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Riche Rahma Dewita, arah pembangunan ekonomi hijau bisa difokuskan pada praktik-praktik jasa lingkungan. Misalnya, pemanfaatan air sebagai pembangkit tenaga listrik, penerimaan pendapatan dari aksi pelestarian hutan lindung yang bisa berkontribusi terhadap penurunan efek gas rumah kaca negara, ataupun penyelenggaraan agroforestry yang memanfaatkan hasil bumi dari hutan.

“Semua praktik tersebut sangat mungkin dilakukan oleh masyarakat dan pada akhirnya berkontribusi langsung pada kehidupan mereka,” tutur Riche.

Namun, Riche juga menegaskan, apapun kebijakan pemerintah terkait ekonomi hijau, sangat perlu mempertimbangkan kapasitas masyarakat dimana kebijakan itu diterapkan. Misalnya, apakah kebijakan ekonomi hijau ini sesuai dengan arah mata pencaharian masyarakat sekitar, seberapa jauh pemahaman masyarakat sekitar tentang pengelolaan lahan yang mendukung pelestarian lingkungan, teknologi apa yang telah digunakan untuk mendukung penyelenggaraan ekonomi hijau, dan sebagainya.

“Berdasarkan seluruh penilaian ini, pemerintah bisa melakukan perencanaan pembangunan untuk memperbaiki apa yang sudah berjalan, sehingga pembangunan ekonomi hijau IKN lebih terarah dan bermanfaat bagi seluruh pihak,” kata Riche.