Petani Sawit Swadaya Tidak Boleh Dikucilkan oleh EUDR

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Minggu, 28 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa, atau European Union Deforestation Regulation (EUDR), diminta tidak mengucilkan ataupun merugikan petani sawit swadaya. Sebaliknya, pemerintah Indonesia dan Uni Eropa harus terus berdialog dan mengembangkan kapasitas petani agar mampu bersaing. 

Aturan ini, berlaku sejak Mei-Juni 2023 bagi Indonesia, mewajibkan produk yang masuk wilayah Uni Eropa bebas dari deforestasi dan degradasi lahan terhitung Desember 2020. Tercatat Indonesia menjadi salah satu eksportir terbesar ke Uni Eropa, salah satunya minyak kelapa sawit (83,3) persen. 

Komoditas ekspor yang turut terdampak lantaran diperdagangkan antara Indonesia dan Uni Eropa adalah kayu (8,4 persen), karet (6,5 persen), kopi (1,3 persen), kakao (0,5 persen), serta daging sapi dan kedelai (0,1 persen). 

“Kami berharap pemerintah dan Uni Eropa selaku konsumen tetap memperhatikan kelompok rentan yaitu petani sawit. Jangan sampai ada tarik menarik kepentingan, dan kelompok ini malah dirugikan karena tidak masuk dalam sistem yang mulai berlaku,” kata Surambo kepada Betahita, Jumat, 26 Mei 2023. 

Ilustrasi seorang petani sawit memanggul tandan buah segar. Foto: WRI Indonesia.

Menurut Surambo, salah satu poin dalam kerangka EUDR adalah peningkatan kapasitas petani. Namun sejauh ini belum ada pembicaraan mengenai model dan mekanismenya. Hal ini yang harus didiskusikan dengan negara produsen seperti Indonesia. 

Surambo mencatat, sebanyak 41 persen atau 6,72 juta kebun kelapa sawit dikelola oleh sekitar 4 juta petani swadaya. Para petani biasanya menyuplai tandan buah segar (TBS) kepada pabrik-pabrik kelapa sawit milik perusahaan. Selain itu ada sekitar 20 juta buruh yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia. 

“Karena itu dialognya harus konstruktif. Petani sawit itu kan produsen sawit juga. Karena itu jangan sampai tereksklusi,” kata Surambo. 

Surambo mengatakan aturan uji deforestasi bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia, termasuk sawit swadaya. Hingga saat ini berbagai masalah masih melingkupi petani, termasuk legalitas lahan dan registrasi Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Di banyak tempat, harga TBS milik petani sering diberi harga lebih rendah. 

"Pemerintah harus segera menetapkan bursa harga di dalam negeri, untuk menjamin petani sawit swadaya mendapatkan harga yang adil," kata Surambo.  

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, EUDR tidak akan berdampak pada petani sawit swadaya. Syaratnya, aturan ini tidak boleh menjadi modus baru bagi perusahaan untuk menekan harga TBS. 

Konsumsi CPO domestik saat ini sekitar 44,8 persen dari total produksi 47 juta ton pada 2022. Sementara itu angka impor Uni Eropa berkisar 2-3 juta ton. Gulat mengatakan pemerintah dapat meningkatkan konsumsi ini, idealnya pada angka 60-75 persen. Dia mendorong agar minyak kelapa sawit produksi petani dan PTPN dikhususkan bagi pasar dalam negeri tersebut. 

Di sisi lain, Gulat meminta pemerintah untuk mempercepat program peremajaan sawit rakyat. 

“Ini resolusi yang sangat sederhana, asal tidak jadi modus menekan harga TBS petani,” kata Gulat. 

Gulat mengatakan, EDUR mirip dengan sertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

“Ada biaya tambahan untuk sertifikat EUDR. Konsekuensinya pemerintah dapat menaikkan harga CPO untuk pengiriman ke wilayah Uni Eropa,” kata Gulat.