Gagal Paham Hakim Memutus Perkara Banding Kasus Karhutla PT ABS

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Jumat, 19 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Upaya hukum banding yang diajukan PT Agri Bumi Sentosa (ABS) dalam perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seluas 1.500 hektare di Kalimantan Selatan (Kalsel), dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Pakar hukum lingkungan hidup menilai putusan banding itu tidak tepat, karena hakim keliru menerapkan hukum.

Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Rony Saputra, mengatakan, ketentuan Pasal 84 Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang digunakan Majelis Hakim PT DKI Jakarta sebagai pertimbangan dalam memutus perkara banding PT ABS, keliru ditafsirkan oleh hakim. Akibatnya hukum lingkungan hidup tidak diterapkan secara benar.

Dijelaskannya, Pasal 84 ayat (1) UU PPLH menyebutkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Frasa 'atau' dalam ayat (1) tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan, dan penyelesaian di luar pengadilan berada pada level yang sama, dengan kata lain tidak berjenjang.

"Artinya Pasal 84 ayat (1) itu memberi pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Bisa memilih diselesaikan melalui pengadilan, atau bisa memilih diselesaikan di luar pengadilan," kata Rony, Selasa (16/5/2023).

Petugas melakukan cek lapangan di bekas lokasi kebakaran di PT ABS./Foto: Gakkum LHK

Namun, Rony melanjutkan, pada ayat (2) pasal yang sama juga secara tegas disebutkan, pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa. Artinya, kata Rony, apabila salah satu pihak tidak secara suka rela melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka proses di luar pengadilan tidak boleh dipaksakan.

"Kalau ada pihak (yang bersengketa) yang tidak mau atau tidak suka rela menyelesaikan di luar pengadilan, maka ketentuan ayat (3) Pasal 84 itu tidak perlu lagi dijadikan pertimbangan hakim memeriksa perkara ini," terang Rony.

Selain salah menafsirkan makna Pasal 84 UU No. 32 Tahun 2009, Rony melanjutkan, putusan banding PT DKI Jakarta itu agaknya juga kurang sahih. Karena menurut Pasal 5 ayat (1) Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup.

Sementara, diketahui dua dari tiga hakim yang mengadili perkara banding ini, yakni Hakim Ketua Berlin Damanik dan Hakim Anggota Sirande Parayukan, tidak terdaftar sebagai hakim bersertifikasi lingkungan hidup. Sesuai ketentuan, masih kata Rony, hakim ketua yang menangani perkara lingkungan hidup haruslah memiliki sertifikat hakim lingkungan hidup.

"Pasal 21 ayat (1) Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 134/KMA/SK/IX/2011 menyebutkan, perkara lingkungan hidup pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara harus diadili oleh majelis hakim yang ketua majelisnya adalah hakim lingkungan hidup," jelas Rony.

Ahli hukum lingkungan hidup, Muhnur Satyahaprabu, juga berpikir ada yang salah dalam pemahaman hakim. Muhnur menambahkan, selain pemahaman hakim yang tidak sistematis terhadap makna Pasal 84 UU No. 32 Tahun 2009, hakim juga tidak secara substansial memahami isi pasal tersebut. Karena menurutnya, negara memiliki legal standing atau kedudukan hukum, untuk dapat mengajukan gugatan secara langsung ke pengadilan.

"Putusan tersebut tidak mempertimbangkan secara benar Pasal 84 UU No. 32 Tahun 2009," kata Muhnur, Senin (15/5/2023).

Muhnur bilang, kesalahan pemahaman terhadap Pasal 84 tersebut justru membuka peluang besar bagi Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) sebagai penggugat untuk mengajukan upaya hukum kasasi.

"Telah jelas ada pertimbangan hukum salah di tingkat banding. Dan ini mahkamah agung wajib mengkoreksi atau membenarkan pemahaman yang salah," imbuh Muhnur.

Menurut Muhnur, Judicial Activism hakim PT DKI Jakarta juga masih rendah, untuk menilai kasus lingkungan, sehingga putusan yang dihasilkan justru melenceng.

Seperti diberitakan sebelumnya upaya hukum banding yang diajukan PT ABS ke PT DKI Jakarta, terkait kasus karhutla di Kalsel, pada 2019 lalu diterima oleh majelis hakim. Putusan tersebut menganulir putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menghukum perusahaan tersebut wajib membayar ganti rugi materiil sebesar Rp160.691.175.300 dan denda biaya pemulihan lingkungan hidup sebesar Rp591.555.032.300.

"Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Tergugat. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 816/Pdt.G.LH/2021/PN.Jkt.PST tanggal 28 Desember 2022 yang dimohonkan banding tersebut," bunyi amar putusan banding yang tertera di laman SIPP PN Jakarta Pusat.

Putusan nomor 217/PDT.G-LH/2023/PT DKI itu diputus oleh Ketua Majelis Hakim Berlin Damanik dengan Hakim Anggota Sirande Palayukan dan Chrisno Rampalodji. Putusan banding tersebut diketok pada Selasa, 2 Mei 2023 kemarin.

Dalam salinan putusan banding, Majelis Hakim PT DKI Jakarta membuat putusan dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 84 ayat (3) UU No.32 Tahun 2009. Pasal tersebut dianggap mensyaratkan gugatan sengketa lingkungan hidup di pengadilan, wajib terlebih dulu dilakukan mediasi atau penyelesaian di luar pengadilan. Dalam kasus ini, hakim menganggap proses penyelesaian mediasi tersebut belum ditempuh, sehingga penyelesaian sengketa dianggap prematur.

"Eksepsi Tergugat yang menyatakan bahwa gugatan penyelesaian sengketa lingkungan hidup tentang ganti rugi terhadap Tergugat yang didalilkan Penggugat adalah masih prematur yang seharusnya terlebih dahulu harus diselesaikan terlebih dahulu secara mediasi (non litigasi) dan apabila tidak berhasil baru melalui penyelesaian litigasi yaitu melalui pengadilan," bunyi pertimbangan hakim PT DKI Jakarta dalam salinan putusan banding Nomor 217/PDT.G-LH/2023/PT.DKI.

"Menimbang bahwa atas pertimbangan di atas, maka Eksepsi Tergugat tersebut adalah beralasan dan dapat dikabulkan," kata putusan banding itu.