Penangkapan Budi Pego Dinilai Manipulasi Hukum

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Senin, 27 Maret 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Organisasi pegiat HAM dan lingkungan mencurigai penangkapan Heri Budiawan alias Budi Pego pada Jumat lalu (24/3/2023) terkait dengan ekspansi tambang emas ke Bukit Salakan, Banyuwangi Jawa Timur. Komnas HAM pun mendesak Presiden Jokowi untuk segera memberikan amnesti bagi Budi Pego. 

Penolak tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur, Budi Pego, ditangkap polisi untuk menjalani pidana atas kasus penyebaran ajaran komunisme pada Jumat (24/3/2023). Penangkapan ini merupakan eksekusi atas Putusan MA Nomor 1567 K/PidSus/2018, menyatakan kliennya bersalah menyebarkan ajaran komunisme. 

Namun tim pendamping hukum Budi Pego dari Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (Tekad Garuda), M. Sholeh, menduga penangkapan ini merupakan bagian dari rangkaian kriminalisasi untuk mengintimidasi warga. Putusan MA tersebut sudah keluar sejak 2018, namun eksekusi baru dilakukan saat ini.  

Ia menyebutkan penangkapan ini tidak terlepas dari aksi penolakan warga terhadap ekspansi tambang emas di Gunung Salakan oleh PT Merdeka Copper Gold dan anak perusahaannya, yaitu PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI), beberapa hari belakangan. . 

Areal tambang emas PT Bumi Suksesindo (BSI) di Gunung Tumpang Pitu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Keberadaan tambang ini mendapat penolakan keras dari masyarakat pesisir selatan Jawa Timur karena dianggap membawa dampak lingkungan./Foto: Bumisuksesindo.com

“Ada beberapa warga yang dipanggil polisi dengan dugaan menghalang-halangi proses pertambangan atas ekspansi perusahaan di Salakan. Warga sudah dapat panggilan (polisi) dan beberapa hari setelahnya Budi Pego dieksekusi, ini sangat politis,” ucap dia dalam jumpa pers ‘Penahanan Budi Pego Adalah Bentuk Manipulasi Hukum dan Pelanggaran HAM’, yang digelar secara daring pada Minggu (26/3/2023). 

Ia menganggap eksekusi ini merupakan penggalan peristiwa termutakhir kriminalisasi Budi Pego. Sejak kasus penyebaran komunisme ditangani kepolisian terdapat sejumlah kejanggalan, seperti tak adanya bukti bahwa Budi Pego menggambar logo palu arit yang dituduhkan dalam dakwaan. 

Budi Pego melakukan aksi pemasangan spanduk penolakan tambang emas Tumpang Pitu pada 4 April 2017. Aksi itu dituding sebagai penyebaran ajaran komunisme karena ada spanduk bergambar palu arit. 

Ia dijerat polisi dengan Pasal 107a KUHP karena dituduh melakukan tindak pidana penyebaran dan mengembangkan ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme. Kendati dalam fakta persidangan barang bukti spanduk mirip palu arit tersebut hilang, 

Budi Pego dijatuhi vonis 10 bulan penjara oleh PN Banyuwangi, yang diperkuat Pengadilan Tinggi Jatim setelah banding dari jaksa dan tim kuasa hukum. Kemudian pada 16 Oktober 2018, Mahkamah Agung meningkatkan vonis Budi Pego menjadi pidana empat tahun berdasar hasil pengajuan kasasi. 

Budi Pego mendapat surat eksekusi tahap I atas putusan kasasi tersebut pada 7 Desember 2018 dan disusul surat eksekusi tahap II pada 21 Desember, namun baik yang bersangkutan maupun kuasa hukumnya belum menerima salinan putusan kasasi MA. 

Pada Jumat (24/3), Budi Pego ditangkap oleh aparat Polresta Banyuwangi dan Kejaksaan Negeri Banyuwangi. 

Pendamping hukum dari LBH Surabaya, Jauhar Kurniawan, mengungkapkan sepanjang 5 tahun sejak putusan itu MA, Budi Pego, tidak pernah kemana-mana. Anehnya, eksekusi baru dilakukan hampir lima tahun sejak kasus itu berkekuatan hukum tetap. 

“Lima tahun putusan MA itu kondisinya menggantung, dan 2023 baru dilakukan mendadak. Ini ada apa?” ucap dia.

Manajer Advokasi Masyarakat WALHI Jawa Timur, Usman, beranggapan peristiwa penangkapan Budi Pego sendiri menunjukkan keterlibatan aparat pemerintah dalam urusan bisnis pertambangan ini sangat intens. Berbagai rekaman video amatir dari warga menunjukkan aparat seolah turut memaksa masyarakat untuk menerima keberadaan tambang meski ada penolakan. 

“Di luar aspek hukum, ini menjadi praktik vulgar pola pembungkaman terhadap warga,” jelasnya. 

Terpisah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan meminta Presiden Jokowi untuk memberikan amnesti kepada Budi Pego. Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah, mengungkapkan aktivitas Budi Pego menolak tambang emas merupakan bagian dari hak konstitusionalnya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan untuk memastikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi masyarakat di sekitar. 

"Yang pertama, meminta kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Heri Budiawan alias Budi Pego dalam kasus Tolak Tambang Emas Tumpang Pitu," kata dia seperti dikutip dari Antara

Selain itu Komnas HAM memberikan tiga pernyataan lain yakni pertama, meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera menerbitkan Peraturan Menteri LHK tentang perlindungan Terhadap pembela HAM di bidang lingkungan hidup. 

Kedua, meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Polresta Banyuwangi, dan PT Merdeka Copper Gold beserta anak perusahaan PT BSI dan PT DSI, untuk memenuhi rekomendasi Komnas HAM pada 10 Juni 2020 agar mengedepankan prinsip-prinsip bisnis dan HAM. 

Dan ketiga mendesak agar proses hukum di tingkat pengadilan yang lebih tinggi dapat dilakukan secara independen, imparsial, transparan, dan adil sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Komnas HAM juga meminta penjaminan hak-hak Budi Pego untuk menemui dan menerima serta memberikan akses terhadap kuasa hukum, keluarga, hak kesehatan, makanan, dan menyediakan ruang tahanan yang layak sesuai standar HAM. 

Komisioner Pengaduan Komnas HAM, Hari Kurniawan, menyebutkan akan segera mengirimkan surat resmi kepada Presiden Jokowi terkait dorongan untuk memberikan Amnesti. Pada 2018 lalu Komnas HAM sendiri mengeluarkan surat perlindungan kepada Budi Pego sebagai human rights defender

Salah seorang warga kawasan Tumpang Pitu yang turut hadir pada jumpa pers Komnas HAM, Nur Hidayat, mengatakan sebelum penangkapan Budi Pego, warga setempat kerap mendapatkan intimidasi. 

"Sebelum penangkapan Jumat kemarin, dari aparat kepolisian itu sering mengintimidasi warga dalam bentuk verbal. Misalnya, mendatangi rumah warga dan mengancam akan dikenakan Pasal 162, akhirnya warga takut," kata Nur Hidayat.