Walhi Aceh: Pembangunan Jalan Aceh Tenggara Ancam Ekosistem Hutan

Penulis : Gilang Helindro

Ekosistem

Senin, 27 Maret 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Walhi Aceh menilai pembangunan jalan tembus Jambur Latong-Langkat yang digagas Pemerintah Aceh Tenggara akan berdampak buruk bagi ekosistem hutan.

Ahmad Salihin, Direktur WALHI Aceh menyebut bahwa pembangunan jalan tembus sepanjang 18,52 kilometer ini, selain melintasi hutan lindung sepanjang 7,75 kilometer, juga akan membuka akses masuk ke dalam kawasan hutan tersebut.

“Dari sinilah Kejahatan lingkungan seperti penebangan liar, perburuan satwa, serta perambahan kawasan hutan akan dimulai,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis 23 Maret 2023.

Berbagai praktik ilegal tersebut akan berdampak pada terjadinya bencana ekologis, apalagi Aceh Tenggara mempunyai riwayat bencana banjir bandang yang cukup parah.

Walhi Aceh menilai pembangunan jalan tembus Jambur Latong-Langkat yang digagas Pemerintah Aceh Tenggara akan berdampak buruk bagi Ekosistem Hutan. Foto: Walhi Aceh

Selain itu, perambahan hutan juga akan menyebabkan habitat satwa terganggu sehingga eskalasi konflik manusia versus satwa juga akan meningkat karena banyak hewan yang terdesak ke lingkungan tempat tinggal manusia.

Sebagai salah satu kawasan hutan yang masuk ke dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan lindung Serbo Langit, yang akan dilintasi oleh proyek pembangunan jalan tembus, itu memiliki vegetasi yang relatif masih baik dan merupakan habitat kunci orangutan dan kambing hutan.

Masyarakat dari tiga kecamatan, yakni Deleng Pokhkison, Lawe Bulan, dan Lawe Sumur, juga menggantungkan sumber air mereka dari sana.

Hutan lindung Serbo Langit sendiri menjadi salah satu hutan di mana perambahan liar dan illegal logging banyak terjadi dalam rentang waktu 2019-2020 yang menjadi penyebab banjir bandang di Aceh Tenggara sehingga sejumlah infrastruktur rusak parah. Termasuk merusak lahan pertanian warga di tiga kecamatan.

Aktivitas perambahan hutan ini diyakini semakin subur dengan dibukanya jalan sepanjang 9 kilometer di dalam kawasan hutan lindung tersebut.

Sejumlah temuan oleh WALHI seperti kayu yang ditumpuk di pinggir jalan, sebelum diangkut dengan menggunakan becak bermotor ke lokasi yang mudah diakses oleh roda empat, menegaskan bagaimana perambahan hutan berlangsung secara masif di sana.

Tim Walhi juga menemukan bahwa kayu-kayu dari hutan lindung tersebut diangkut dengan metode menunggu saat debit air sungai naik pada waktu musim hujan sehingga kayu-kayu hasil rambahan bisa dihanyutkan hingga ke hulu. Kondisi ini ditakutkan akan semakin parah apabila pembangunan jalan tembus dilanjutkan.

WALHI Aceh meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan (KLHK) agar tidak mengeluarkan izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) untum pembangunan jalan tembus tersebut. Ini demi menekan kemungkinan semakin tergerusnya kawasan hutan lindung tersebut.

“Sekarang saja jalan yang baru selesai 9 kilometer perambahan hutan tak terkendali dan tidak ada pengawasan. Konon lagi kalau jalan sudah mulus,” katanya.

Salihin juga mengatakan bahwa kemiringan bukit sepanjang jalan tembus yang hendak dibangun berkisar antara 45-75 derajat dengan ketinggian 715-720 meter di atas permukaan laut.

Kondisi ini berpotensi menyebabkan rawan terjadi longsor serta dirasa tidak membuat masa tempuh perjalanan menjadi jauh lebih baik dan cepat dibandingkan rute sebelumnya-jalan tersebut rencananya akan dipangkas sejauh 121 kilometer dari jalan sebelumnya yang mengambil jalan Tanah Karo sejauh 220 kilometer.

"Makanya lebih baik dilebarkan dan diperbaiki jalan yang sudah ada sekarang, karena diperkirakan jarak tempuh juga enggak jauh-jauh beda, hanya memperpendek jarak saja, waktu tempuh beda tipis,” katanya.

Selain itu, langkah Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki yang melayangkan surat berisi usulan pembangunan jalan nasional Kutacane-Langkat kepada tiga kementerian sebagai bentuk dukungan Pemerintah Aceh amat disayangkan menurut Salihin. Apa yang dilakukan Achmad Marzuki itu dinilai tidak mempertimbangkan dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan hidup sama sekali.

Semestinya ada kajian komprehensif serta melihat kemungkinan dari pelbagai aspek terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mendukung pembangunan jalan tembus tersebut. Sehingga, kerugian negara seperti biaya untuk mengembalikan kawasan tutupan hutan yang hilang akibat proyek tersebut dapat diminimalisir.