Yuliana Wetuq: Cinta Membawa Saya untuk Menjaga Hutan 

Penulis : Kennial Laia

Sosok

Rabu, 31 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Bagi Yuliana Wetuq, cintanya kepada hutan merupakan sesuatu yang alami. Perempuan yang lahir di Nehas Liah Bing, sebuah desa di Kutai Timur, Kalimantan Timur, tumbuh besar di perkampungan masyarakat adat Dayak, suku Wehea, yang berdampingan dengan hutan.

Cinta itu pula yang membawanya pulang dan menjadi satu-satunya perempuan dalam tim patroli hutan lindung Wehea hingga saat ini. “Hati saya untuk hutan,” tutur Yuliana dalam percakapan dengan Betahita, Senin lalu. 

Sehari-hari Yuli, nama panggilannya, bekerja untuk konservasi. Jika tidak sedang patroli hutan, dia mengurus Lembaga Adat Wehea bersama empat rekan dari suku Wehea di Nehas Liah Bing. Pekerjaannya di kantor macam-macam, mulai dari manajemen, administrasi hingga laporan keuangan. 

Namun, hati Yuli selalu gembira ketika saatnya ke hutan. Perempuan adat berusia 47 tahun ini merupakan koordinator Petkuq Mehuey, bahasa lokal untuk penjaga hutan. Dalam seminggu, setidaknya Yuli masuk hutan dua kali. Ada kalanya dia mengantar logistik untuk mereka yang sedang berjaga, ataupun berkeliling untuk patroli memantau aktivitas ilegal di dalam hutan lindung Wehea. 

Yuliana Wetuq, perempuan Dayak Wehea mengabdikan waktunya untuk menjaga hutan lindung Wehea di Desa Nehas Liah Bing, Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Mulai dari patroli hutan hingga mengurus lembaga adat. Dok Yuli Wetuq

Hutan lindung Wehea memiliki luas 38.000 hektare, membentang dari Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Sebagian kecil, seluas 9.000 hektare, masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Berau, Kalimantan Selatan. 

Selain itu pada 2022, sebagian juga menjadi wilayah hutan desa. “Jadi masih ada sekitar 26 ribu hektare yang menjadi hutan lindung. Tim jaga hutan itu menjaga wilayah ini. Tapi sebenarnya kami juga masih menganggap area di Berau sebagai hutan lindung, jadi tetap dijaga oleh kami,“ kata Yuli. 

Hutan lindung Wehea tak selalu aman. Periode 1980-an, hutan Wehea merupakan area dengan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH), sehingga pohon pun bebas dipanen dan ditebang. Penebangan liar dan perburuan satwa turut memperparah kondisi. Ditambah lagi dengan adanya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. 

Yuli belajar mencintai hutan dari sang ayah. Perjalanan panjang memastikan perlindungan hutan Wehea yang tersisa dipelopori oleh ayahnya, Ledjie Taq, kepala adat suku Wehea. Saat perusahaan HPH hengkang pada tahun 2000, masyarakat adat berinisiatif mengadakan ritual dan menjadikan hutan itu sebagai ‘hutan lindung’.

Mereka pun menyusun aturan adat agar tidak ada penebangan pohon dan perburuan satwa di dalam hutan. Jika dilanggar, akan dikenakan denda adat sesuai tingkat pelanggaran. Intinya masyarakat adat sepakat menjaga hutan. Masyarakat mengambil seadanya untuk ritual adat seperti rotan, bambu, dan obat-obatan. Jika berburu untuk pangan pun dibatasi dan harus mendapatkan izin terlebih dulu. 

Pada 2003, tim gabungan survey dari Fakultas Universitas Mulawarman dan The Nature Conservancy melakukan penelitian di hutan tersebut. Tim peneliti menemukan sarang orang utan. Lantas hutan itu pun menjadi hutan dengan tujuan khusus. 

Tanggal 5 November 2005 menjadi hari bersejarah buat masyarakat adat Dayak Wehea. Yuli menjadi salah satu yang menancapkan patung leluhur Jod Blie (laki-laki) dan Hong Ngah (perempuan) di dalam hutan, yang disertai dengan ritual kepercayaan. Masyarakat memanggil arwah nenek moyang untuk memohon perlindungan hutan. 

“Jod Blie dan Hong Ngah kami percaya sebagai orang pertama yang tinggal di dalam hutan, dan mereka adalah penjaga hutan itu,” kata Yuli. 

Foto udara hutan lindung Wehea, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Dok Lembaga Adat Wehea

Pada saat bersamaan, Yuli koordinator dan kepala logistik untuk 35 pemuda Petkuq Mehuey (PM), serta menjadi orang pertama yang memasang plang nama hutan adat di tengah Wehea. 

Sempat bekerja di Badan Lingkungan Hidup Kutai Timur, Yuli pun pulang ke kampung untuk fokus pada penjagaan hutan lindung Wehea. Di sela-sela itu, dia pun sempat bekerja di sebuah perusahaan sawit, pada unit konservasi. Pada 2014 dia juga ditugaskan perusahaan yang bekerja sama dengan Lembaga Adat Wehea untuk menjaga hutan konservasi milik perusahaan sawit. 

Namun pada 2017, Yuli memutuskan mengundurkan diri dan bekerja penuh di Lembaga Adat Wehea. "Gajinya memang tidak seberapa, tapi saya lebih memilih hutan. Saya ingin lihat lingkungan itu aman dan keanekaragaman hatinya tidak punah." 

Petkuq Mehuey menjadi garda terdepan penjagaan hutan. Patroli hutan menjadi rutinitas bagi Yuli. Hutan yang jaraknya puluhan kilometer dari perkampungan Dayak Wehea, Desa Nehas Liah Bing, Muara Wahau, Kutai Timur, pun ditempuh.

Dalam seminggu mereka melakukan patroli dua kali jika jaraknya jauh. Kadang PM juga menginap di dalam hutan. Sementara itu untuk titik yang dekat, patroli bisa dua hari sekali. Kegiatannya antara lain pendataan sumber daya seperti buah dan jenis pohon, serta pencatatan pertemuan satwa. 

Tim PM juga memasang plang jika diperlukan. Plang itu bertuliskan batas hutan lindung Wehea agar tidak dimasuki pemburu. “Walau jaraknya jauh, kami selalu usahakan untuk patroli seminggu dua kali. Ini  untuk memastikan pemburu tidak masuk dalam hutan lindung,” jelas Yuli.

Bertemu pemburu hingga perambah liar 

Hutan yang dijaga masyarakat adat itu resmi menjadi hutan lindung pada 2013 di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak berubah status, Yuli mengatakan jumlah pembalakan dan perburuan liar menurun drastis. Kesadaran masyarakat adat juga sudah tumbuh kuat. 

“Kalau orang Wehea sudah paham untuk tidak mengganggu hutan, apalagi berburu dan aktivitas ilegal lainnya,” tutur Yuli. Dia menambahkan masyarakat Wehea juga tidak membuka lahan di dalam hutan. 

Yuliana Wetuq (kedua dari kiri) bersama tim Petkuq Mehuey memasang poster berisi larangan perburuan liar di dalam hutan lindung Wehea. Dok Yuliana Wetuq 

Namun, tim Petkuq Meheuy masih menemukan adanya aktivitas ilegal, yang disebut Yuli berasal dari daerah luar, bahkan ada yang ber-KTP dari Pulau Jawa. Ada yang berburu satwa dan melakukan penebangan pohon. Pernah tim menyita logistik termasuk empat karung besar berisi rokok, beras, gula, kopi, minyak, solar cell, dan telepon genggam. 

Pernah juga mereka menemukan jejak perambah liar. Sebuah pondok sudah dibangun, mereka menemukan jejak kaki dan satu tas besar berisi olahan gaharu. Pondok tersebut juga dibongkar oleh tim. 

Paling anyar, Petkuq Meheuy menemukan rakitan kayu di pinggir sungai pada April lalu. Pihaknya pun menyita kayu dan peralatan yang teringgal di lokasi. 

Tak jarang, Yuli turut bertemu pemburu liar di dalam hutan. Dia memanfaatkan momen itu untuk memberi edukasi. Seraya menegur, Yuli juga menginformasikan soal hutan kepada para pemburu. Namun jika pelanggaran sudah terjadi, pelanggar akan disidang adat dan dikenakan sanksi beruang uang. 

Yuliana Wetuq saat berhadapan dengan pemburu yang hendak masuk ke dalam hutan. Mereka disinyalir hendak berburu burung dan mengambil kayu gaharu. Dok Petkuq Mehuey

Tim penjaga hutan juga berkoordinasi dengan kepolisian jika dibutuhkan. Pada 2018, misalnya, Petkuq Meheuy bertemu dengan tujuh pemburu yang membawa senapan api di dalam hutan. Tim penjaga hutan menghindari adu senjata, karena patroli hanya dengan mandau, senjata tradisional masyarakat Dayak. 

“Teman-teman di dalam hutan mengajak (pemburu) mengobrol. Sementara saya yang menerima laporan melapor ke kepala adat dan polisi. Lalu polisi datang dan menyita senjata tersebut,” tutur Yuli. 

Di sisi lain, kini tim penjaga hutan hanya beranggotakan sembilan personil, menyusut dari 35 orang saat pertama kali dibentuk. Hal itu terjadi sejak peralihan pengelolaan hutan dari tingkat kabupaten ke pemerintah provinsi Kalimantan Timur. Kesulitannya terletak pada anggaran. 

“Belum ada (anggaran) dari pemerintah (provinsi) untuk masyarakat adat Wehea untuk hutan lindung sehingga kami mengurangi personil,” jelas Yuli.

Meski demikian, Yuli lantas tidak mengurangi upaya penjagaan hutan. Pihaknya berupaya kreatif mendapatkan donasi, mulai dari program adopsi pohon. Uang dari program ini juga disisihkan juga untuk beasiswa sekolah anak adat Wehea. 

Petkuq Weheuy juga dibantu oleh sejumlah organisasi nonpemerintah seperti Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan Yayasan Hutan Masa Depan. Ekowisata seperti trekking hutan dan budaya juga digalakkan dan menjadi cara untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. 

Yuliana Wetuq bersama kepala adat Dayak Wehea, Ledjie Taq, melakukan ritual nelkeaq. Upacara ini dilakukan untuk meminta perlindungan hutan atau saat menyambut tamu yang datang ke hutan lindung Wehea. Dok Yuliana Wetuq

Mimpi Wehea menjadi hutan adat 

Meski hutan lindung Wehea tergolong aman, Yuli terkadang dirundung cemas. Dia kerap khawatir hutan itu diserobot perkebunan kelapa sawit. 

Yuli mengaku tidak bisa membayangkan jika hutan lindung Wehea kembali ke kondisi buruknya dulu. Terutama jika punah atau terdegradasi. Apalagi hutan tersebut bersebelahan dengan perusahaan kayu maupun perusahaan sawit.

Salah satu alasannya adalah Sungai Wehea yang mengalir di tengah-tengah hutan ke perkampungan bagi Dayak Wehea. Lalu rotan yang penting untuk keberlanjutan kehidupan sosial-budaya, seperti topi dayak dan gendongan dayak. Obat-obatan juga di dalam hutan. 

“Kami bergantung pada hutan, sebagai lumbung kehidupan. Sumber kehidupan buat kami orang Wehea,” katanya. 

Kekhawatiran Yuli tidak tanpa alasan. Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menyatakan, bahwa jumlah izin lahan di Kalimantan Timur melebihi luas daratannya yang berada di 12,7 juta hektare. Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) tahun 2019, luas izin di provinsi tersebut mencapai 13,83 juta hektare, termasuk izin tambang, hutan, dan perkebunan kelapa sawit.

Yuli berharap, kepungan izin itu tidak sampai di Wehea. Baginya, hutan membawa manfaat lebih jika tidak dieksploitasi, termasuk sebagai penyimpan karbon. Hutan juga menjadi rumah bagi satwa penting seperti orang utan. 

“Kami mengharapkan supaya hutan tidak punah. Tidak ada pemburu dan illegal logging, tidak ada izin… Supaya hutan tetap terjaga lestari bukan hanya untuk kami tapi sampai anak cucu,” ujarnya. 

Yuliana Wetuq memperbarui tulisan di papan informasi hutan lindung Wehea, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Dok Yuliana Wetuq 

Yuli juga memiliki mimpi lain. Dia bercita-cita ke depan hutan lindung Wehea menjadi pusat penelitian bagi mahasiswa baik lokal maupun dari luar negeri. Ini penting untuk pengembangan ekowisata. Saat ini meski dikelola oleh masyarakat adat, masih jarang tamu yang masuk untuk ekowisata. Yuli menduga itu karena hutan lindung Wehea cukup terpencil dari jangkauan. 

Dia juga ingin agar ada kesempatan untuk pembangunan kapasitas bagi Petkuq Mehuey, mulai dari pendampingan peneliti, bisa berbahaya Inggris, hingga mampu menjadi pemandu di dalam hutan saat ada kegiatan ekowisata. 

“Mimpi saya itu supaya PM jadi tim yang hebat, lebih baik, dan bisa lebih banyak anggotanya,” kata Yuli. 

Di sela-sela mimpi tersebut, Yuli mengakui memiliki tantangan tersendiri. Perempuan dengan empat anak perempuan ini, paling kecil tiga tahun, harus sering meninggalkan keluarga. Hal ini kadang menyulitkan karena masuk hutan tentu tidak ada sinyal. 

“Kadang patroli tiga-empat hari sehingga tidak bisa kabari anak dan keluarga. Tantangannya itu ya… tapi ya namanya sudah tugas. Saya hanya bisa berusaha mencari keseimbangan antara anak dan pekerjaan.” 

Yuli bahkan menganggap menjaga hutan adalah pekerjaan seumur hidup. Kelak jika dia tidak mampu patroli lagi, dia mengharapkan generasi muda suku Wehea bisa melanjutkannya. 

Ketika ditanya, apa mimpi yang ingin sekali diwujudkan, Yuli sempat tertawa.

Lalu dengan nada serius, dia berkata ingin sekali hutan lindung Wehea menjadi hutan adat. Ini penting agar semakin mengukuhkan hak kelola masyarakat, dan menjauhkan dari kepentingan korporasi. 

Proses itu pun sedang ditempuh oleh masyarakat adat Wehea. Menurutnya mereka sudah mengajukan jadi hutan adat. Pihaknya masih menunggu terbitnya peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat (Perda). 

“Saya ingin Perda cepat terbit. Supaya ada pengakuan masyarakat hukum adat Wehea,” harap Yuli.

Plang di dalam hutan lindung Wehea, Kalimantan Timur. Dok Yuliana Wetuq