Pemekaran Papua di Bawah Bayang Risiko Kekerasan

Penulis : Tim Betahita

Hukum

Selasa, 28 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Arie Ruhyanto PhD menilai pemekaran Papua memiliki sejumlah risiko yang nantinya menjadi beban bagi masyarakat. Meningkatnya tingkat gangguan keamanan dan kekerasan terhadap warga sipil justru meningkat di Dearah Otonom Baru hasil pemekaran.

Hal itu dinyatakan Arie dalam selaku pemateri dalam webinar “DOB Papua: Studi dan Riset?” yang diselenggarakan secara daring oleh Perhimpunan Mahasiswa Papua Jerman pada Sabtu (25/06), seperti dikutip dari kantor berita Jubi.co.id.

Arie mengatakan pemekaran yang dilakukan di Papua lebih bernuansa politik, dan dijadikan upaya meredam konflik dengan cara mengirimkan lebih banyak aparat keamanan ke Papua.

Pemekaran akan diikuti dengan pendirian infrastruktur militer yang dibarengi dengan pembangunan fasilitas pemerintahan di daerah pemekaran itu. “Daerah-daerah dipecah [atau dimekarkan] untuk meredam konflik,” katanya.

ilustrasi kekerasan. (Pixabay.com)

Arie menyatakan pembentukan Daerah Otonom Baru yang terdahulu telah membentuk banyak kabupaten baru di Papua, dan membentuk Provinsi Papua Barat. “Pembentukan provinsi baru maupun kabupaten baru di Papua juga dijadikan cara mengurangi ancaman keamanan terhadap para [aparatur sipil negara yang menyelenggarakan] pelayanan publik tersebut. Itu relatif berhasil di beberapa daerah [di Papua],” ujarnya.

Akan tetapi, Arie juga menyoroti pengiriman aparat keamanan yang justru kerap memicu peningkatan eskalasi kekerasan di Papua, lantaran aparat keamanan yang dikirim dari luar Papua tidak memahami kondisi sosial budaya masyarakat Papua.

Akibatnya, pengiriman aparat dari luar Papua ke Papua semakin menguatkan trauma masyarakat Papua dengan kehadiran tentara dan polisi itu.

“Tujuan untuk mengurangi gangguan keamanan tidak berhasil, karena gangguan keamanan justru meningkat di Papua. Juga kekerasan [terhadap warga sipil di Daerah Otonom Baru],” kata Arie.

Ia mengemukakan perlu dilakukan evaluasi terhadap daerah pemekaran. Selain itu perlu segera digelar resolusi konflik dengan melakukan pendekatan bukan secara institusi, tetapi langsung terhadap masyarakat Papua.

“Untuk memenangkan hati dan pikiran orang Papua harus dibangun jiwanya, bukan melihat dari untung atau ruginya,” katanya.

Sebelumnya, Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua menyatakan bahwa selama tahun 2019 – 2021 terdapat kurang lebih 46.286 personel TNI/POLRI dikirim sebagai Bantuan Kendali Operasi (BKO) ke Tanah Papua. ESLHAM Papua menilai pengiriman tambahan aparat keamanan di Papua telah gagal menyelesaikan konflik di Papua.

Pengiriman aparat terakhir menurut amatan betahita, dialasankan untuk menjaga kondisi Tanah Papua jelang keputusan pengesahan beleid pemekaran yang dijadwalkan pada 30 Juni mendatang. Mabes Polri telah mengirimkan lima kompi Brimob Nusantara jelang disahkannya Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua.

"Lima kompi Brimob Nusantara yang berasal dari Mabes Polri, Polda Sumatra Utara dan Polda Riau sudah ditempatkan di Wamena, Nabire, dan Jayapura," kata Karo Ops Polda Papua Kombes Wijatmika, Ahad (26/6).

Dia mengakui keberadaan Brimob Nusantara di bawah kendali operasi (BKO) Polda Papua itu guna mengantisipasi peningkatan gangguan kamtibmas jelang dan setelah penetapan UU DOB. Selain Brimob Nusantara, Polda Papua juga menyiagakan anggota Brimob dan disiagakan selama sebulan.

Medio Juni, Direktur Lokataru, Haris Azhar menyatakan pemekaran Papua tidak akan menyelesaikan persoalan, dan justru meningkatkan risiko terjadinya kekerasan terhadap orang Papua. Risiko itu meningkat sebab pemekaran Papua bukanlah keinginan rakyat Papua.

“Akan ada parade kekerasan. Di balik parade kekerasan, tidak ada penegakan hukum. Penegakan hukum hanya menjadi bab dari praktik kekerasan. Di Papua, tidak ada penegakan hukum dalam arti sebenarnya. Kalaupun ada, itu diskriminatif terhadap orang Papua,” ujar Haris Azhar.

Haris menyatakan tidak ada satu pun syarat pemekaran wilayah yang terpenuhi dalam proses pemekaran Papua. Menurutnya, pemekaran merupakan keinginan pemerintah pusat untuk terus memaksakan dan memperpanjang monopoli terhadap orang asli Papua, khususnya dalam penguasaan sumber daya alam yang dibarengi dengan kekerasan.