Konflik Agraria, 9 Desa di Jambi Datangi Jakarta Minta Solusi

Penulis : Kennial Laia

Agraria

Senin, 28 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Belasan warga dari sembilan desa di Provinsi Jambi datang ke Jakarta untuk melakukan audiensi dengan berbagai instansi pemerintahan. Hal itu terkait dengan konflik agraria sejak 2012. Melibatkan sejumlah perusahaan perkebunan dan kehutanan di Jambi.

Fadil, warga dari desa Sarolangun, Kabupaten Ampar, mengatakan upaya tersebut ditempuh untuk mencari solusi konflik yang dihadapi masyarakat di tingkat tapak. “Karena sudah beberapa kali (kami berupaya) ke kabupaten maupun provinsi, sama dengan desa-desa lainnya, tidak ada menemukan titik terang,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Betahita, 28 Maret 2022.

Konflik yang dialami oleh masyarakat melibatkan sejumlah perusahaan perkebunan dan kehutanan di Jambi. Kasim, warga dari desa Pandan Sejahtera, mengaku mengalami upaya kriminalisasi oleh PT Indonusa Agro Mulyo yang menggarap lahan komunitas.

Konflik berawal ketika masyarakat menolak tawaran menjadi mitra plasma dari perusahaan. Pak Kasim mengungkapkan, “masyarakat menolak karena harus menyerahkan 50% lahan kepada perusahaan, sehingga sekarang lahan itu diserobot perusahaan.” 

Walhi Jambi mencatat, sebanyak 162 konflik agraria terjadi dalam lima tahun terakhir di provinsi tersebut. Foto: Istimewa

Menurut Kasim, dia dituduh menjadi penggerak ketika masyarakat membersihkan lahan usaha yang mereka dapatkan dari skema transmigrasi pemerintah pada 2020. Proses pemeriksaan hingga penetapan sebagai terdakwa terjadi sangat cepat. Saat ini Pak Kasim telah berstatus sebagai terdakwa dan harus menjalani proses persidangan.

Mardani, warga dari Kelompok Tani Jaya Bersama, Desa Simpang Rantau Gedang, Kabupaten Batang Hari, juga mengaku kelompoknya mengalami intimidasi dari perusahaan bernama PT Sawit Jambi Lestari. Menurutnya, perusahaan tersebut melaporkan sejumlah masyarakat dari kelompok tersebut ke polisi atas tuduhan pendudukan lahan secara ilegal.

“Kami bingung siapa yang sebenarnya menduduki lahan secara ilegal? Kami masyarakat punya izin, kami menduduki lahan diizinkan oleh pemerintah daerah. Sebaliknya perusahaan menduduki lahan kami di situ secara premanisme,” ujarnya. 

Konflik agraria dialami secara merata oleh sembilan desa yang datang ke Jakarta. Di antaranya adalah desa Olak Kemang dan Pemayungan Kabupaten Tebo; Pandan Sejahtera dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur; Sungai Paur dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat; Rondang, Kabupaten Muaro Jambi; Simpang Rantau Gedang, Kabupaten Batang Hari; Tebing Tinggi dan Mekar Sari, Kabupaten Batang Hari; dan Batu Ampar dari Kabupaten Sarolangun. 

Desa Pemayungan menjalani konflik yang berlangsung paling lama, yakni sejak 2012. Warga kerap menjadi sasaran intimidasi dan kriminalisasi lantaran mempertahankan wilayah kelola mereka yang dibebani izin Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) milik PT Lestari Asri Jaya.

Menurut Walhi Jambi, warga desa Pemayungan kerap kali didatangi preman suruhan dari perusahaan dan mendapatkan surat pemanggilan dari kepolisian untuk menyerahkan lahan yang telah mereka kelola kepada perusahaan.

Sementara itu kasus yang paling baru dialami oleh desa Tebing Tinggi pada 2021.

Menurut data Walhi Jambi, selama tahun 2017 hingga 2022, terdapat setidaknya 162 kasus konflik agraria di berbagai wilayah provinsi tersebut. Namun hingga saat ini belum ada penyelesaian dari pemerintah tingkat kabupaten maupun provinsi.

Sejak Senin (21/3/2022), rombongan masyarakat telah mendatangi berbagai instansi pemerintah dan non-pemerintah untuk melakukan audiensi serta menyampaikan laporan kasus. Diantaranya adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dan Transmigrasi, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). 

Eksekutif Daerah Walhi Jambi Ginda Harahap mengatakan, kunjungan masyarakat ke berbagai instansi selama satu minggu terakhir merupakan bentuk kekecewaan atas belum adanya penyelesaian konkret di daerah, dari tingkat desa, kabupaten, maupun provinsi.

Menurut Ginda, meski memiliki alas hak yang kuat, hingga hari ini masyarakat masih terus memperjuangkan haknya. Sementara itu perusahaan tidak menggubris dan justru mengintimidasi masyarakat.

“Kenyataannya negara ini kalah dengan perusahaan yang ada di wilayah tersebut. Ini bagian dari kelalaian negara dalam memelihara dan memastikan keadilan hukum yang ada di tingkat masyarakat paling bawah,” kata Ginda.  

Menurut data Walhi, sepanjang tahun 2021 terjadi kriminalisasi sebanyak 58 kasus, yakni 52% di sektor pertambangan dan 34% di sektor kehutanan dan perkebunan.

Pengkampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi Uli Arta Siagian mengatakan, mengatakan saat ini rakyat kecil di berbagai wilayah Indonesia tengah berjuang mempertahankan tanahnya. Namun, tak sedikit yang mengalami intimidasi dan kekerasan.

“Seharusnya pengurus negara fokus untuk menyelesaikan proses konflik agraria ini karena proses penyelesaian konflik agraria adalah bentuk tanggung jawab pengurus negara untuk memenuhi hak-hak konstitusional warga negara. Dengan terus mengabaikan persoalan konflik agraria, itu membuktikan bahwa pengurus negara gagal memenuhi hak  konstitusi warga negara,” pungkas Uli.