Izin Pertambangan PT Gema Kreasi Perdana Dinilai Layak Dicabut

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Selasa, 22 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  LSM pendamping warga penolak tambang anak perusahaan Harita Group, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, menemukan banyak pelanggaran yang dilakukan perusahaan itu. Mereka mendesak pemerintah mencabut IUP PT GKP.

“Kami menuntut pemerintah pusat, dalam hal ini Dirjen Minerba Kementerian ESDM untuk Hentikan seluruh aktivitas PT Gema Kreasi Perdana, evaluasi dan cabut IUP yang telah diterbitkan,” ucap Divisi Hukum Jatam, Muhammad Jamil, melalui rilis pers. 

Kegiatan tambang PT GKP diduga ilegal karena melanggar hukum hukum dan HAM, mulai dari aktivitas tambang di pulau kecil, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kadaluarsa, upaya kriminalisasi terhadap puluhan warga penolak tambang; hingga pengerahan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga.

Temuan ini diungkap oleh LSM yang melakukan pendampingan warga Pulau Wawonii, yakni Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Koalisi Rakyat untuk Peradilan Perikanan (Kiara), Solidaritas Perempuan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Trend Asia.

Anak perusahaan Harita Group, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), kembali menyerobot lahan warga di Roko-Roko Raya, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Foto: Jatam

Perusahaan itu diduga kuat melakukan maladministrasi pada proses penerbitan dua IPPKH milik PT GKP dengan No. SK. 576/Menhut/II/2014 seluas 707,10 Ha dan No. SK. 1/1/IPPKH/PMDN/2016 seluas 378,14 ha. Penerbitan kedua IPPKH ini didasari oleh dokumen AMDAL PT GKP pada 2008. 

“Namun praktiknya, PT GKP baru melakukan kegiatan konstruksi pada 2019, sehingga berdasarkan pasal 50 ayat (2) huruf e PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan, IPPKH milik PT GKP dianggap kadaluarsa karena tidak ada kegiatan dalam jangka waktu maksimal tiga tahun sejak diterbitkan,” jelasnya.

PT GKP juga diduga melanggar hukum dengan melakukan aktivitas pertambangan di atas lahan yang secara sah dimiliki oleh warga. Sebelumnya, pada Kamis (3/3/22), PT GKP melakukan penerobosan dan penggusuran dengan melibatkan aparat kepolisian dan TNI di lahan milik La Dani dan Sahria, warga penolak tambang di Roko-Roko Raya yang tidak bersedia lahannya menjadi areal pertambangan untuk perusahaan. 

Tercatat, penyerobotan lahan yang dilakukan oleh PT GKP ini merupakan yang kelima kalinya. Pada 2019, terjadi tiga kali penyerobotan lahan yakni pada 9 Juli 2019 terhadap lahan milik Ibu Marwah, pada 16 Juli 2019 terhadap lahan milik Pak Idris, lalu pada 22 Agustus 2019 terhadap tiga warga (Pak Amin, Bu Wa Ana, dan Pak Labaa). 

Lalu pada 2022 upaya yang sama terjadi pada 1 Maret lalu terhadap lahan milik Pak La Dani dan Bu Sahria. 

Pihak perusahaan mengklaim lahan milik La Dani dan Sahria itu milik warga lain yang telah dibebaskan. Namun faktanya lahan-lahan itu telah dikelola turun-temurun selama tiga generasi oleh keluarga La Dani dan Sahria, dan menjadi hak milik serta selalu membayar pajak atas tanah setiap tahun. Sebelum PT GKP masuk tidak pernah ada warga saling mengklaim atas tanah, apalagi timbul konflik di tengah masyarakat. 

Tindakan perusahaan itu, menurut mereka, melanggar pasal 39 huruf (i) UU 3/2020 tentang pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal itu menyebutkan setiap pemegang izin usaha pertambangan wajib menyelesaikan permasalahan hak atas tanah sebelum beroperasi. Artinya upaya penerobosan dan penggusuran lahan yang dilakukan PT GKP adalah ilegal dan melanggar hukum.

Ambil alih lahan sepihak ini disebut untuk membangun jalan tambang menuju lokasi penambangan. Akibatnya, tanaman perkebunan produktif warga rusak parah, sementara warga yang melawan diintimidasi dan dikriminalisasi hingga mendekam di sel tahanan dan di penjara. 

Pada 2019 lalu, sebanyak 28 orang warga penolak tambang di Roko-Roko Raya harus berurusan dengan polisi. Enam diantaranya sempat ditahan di Polda Sulawesi Tenggara dan dua orang di antaranya divonis pidana, yakni La Site dengan hukuman penjara 10 bulan dan Idris Ladiri dengan hukuman pidana 3 tahun 6 bulan.

Tindakan pembiaran aktivitas tambang PT GKP di pulau kecil Wawonii telah mengabaikan hak konstitusi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 3/PUU-VIII/2010. Masyarakat telah kehilangan akses dan ruang hidup, terutama terkait aktivitas tambang di daratan yang menghancurkan perkebunan produktif warga. 

Keberadaan PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group, di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara mengancam keselamatan warga, menggusur lahan pertanian-perkebunan dan berpotensi mencemari laut. Keduanya merupakan sumber ekonomi utama dari lebih dari 37.000 jiwa warga di Pulau Wawonii. 

Selain itu pembangunan pelabuhan khusus tambang di pesisir yang tidak sesuai peruntukan ruang dalam Perda RZWP3K Sultra, tidak mendapat rekomendasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tenggara. Hal ini akan berimplikasi buruk pada tatanan ekosistem pulau secara holistik.