PBB: Tahun 2050, Kebakaran Hutan Berpotensi Meningkat 30 Persen

Penulis : Kennial Laia

Karhutla

Jumat, 25 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Frekuensi kebakaran hutan yang melanda berbagai belahan dunia diprediksi meningkat. Negara yang telah dihancurkan api, termasuk Australia, California, Amerika Serikat (AS), serta Siberia, juga disebut akan mengalami kobaran api 50% lebih sering pada akhir abad ini. 

Hal itu disampaikan oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dalam laporan terbarunya, Rabu, 23 Februari 2022. Organisasi itu bahkan memperingatkan bahwa wilayah yang sebelumnya tidak terpengaruh akan ikut terdampak oleh kobaran api yang tidak terkendali. 

Meningkatnya krisis iklim yang disertai dengan perubahan fungsi lahan mendorong intensitas kebakaran hutan ekstrem dalam skala global. Laporan PBB, yang melibatkan lebih dari 50 peneliti internasional, memprediksi kebakaran meningkat sebesar 14% pada 2030 dan 30% pada 2050.

Temuan ini menunjukkan harus ada perubahan radikal dalam pengeluaran publik untuk kebakaran hutan. Laporan itu menyebut bahwa saat ini pemerintah menggelontorkan uang di tempat yang salah dengan berfokus pada pekerjaan layanan darurat. Sementara itu, pencegahan kebakaran dinilai sebagai pendekatan yang lebih efektif. 

Kebakaran menghancurkan area hutan alami di wilayah hutan Amazon, Brazil, September 2020. Foto: Christian Braga/Greenpeace

Di masa depan, kebakaran hutan akan menjadi bagian dari kehidupan di setiap benua, kecuali Antartika. Ini akan menghancurkan lingkungan, satwa liar, kesehatan manusia, dan infrastruktur, menurut laporan tersebut.

Bekerja sama dengan pusat komunikasi lingkungan nirlaba GRID-Arendal, PBB memperingatkan tentang “perubahan dramatis dalam rezim api di seluruh dunia.”

“Dari Australia hingga Kanada, Amerika Serikat hingga China, di seluruh Eropa dan Amazon, kebakaran hutan mendatangkan malapetaka pada lingkungan, satwa liar, kesehatan manusia, dan infrastruktur,” kata pengantar laporan tersebut.

Meskipun situasi tersebut “ekstrem”, laporan tersebut mendorong agar umat manusia tidak putus asa. Laporan itu diterbitkan menjelang Sidang Lingkungan PBB di Nairobi, 28 Februari – 2 Maret 2022.

Secara khusus, para ilmuwan menyorot kejadian “kebakaran hutan” yang didefinisikan sebagai kebakaran vegetasi bebas yang tidak biasa yang menimbulkan risiko bagi masyarakat, ekonomi, atau lingkungan. Bulan ini, para peneliti menemukan pemanasan global dapat menyebabkan “api besar yang tahan terhadap praktik pemadaman api” di California selatan. Di AS, hampir 3 juta hektare lahan terbakar akibat karhutla tahun lalu, dengan api yang semakin sulit untuk dipadamkan. 

Saat ini respons langsung terhadap kebakaran hutan mendapat lebih dari 50% alokasi dana. Sementara itu perencanaan dan pencegahan kurang dari 1%. Dus, laporan itu menyerukan “formula siap-api” dengan investasi yang seimbang antara perencanaan, pencegahan, dan kesiapsiagaan sebesar 50%. Sementara itu 30% dialokasikan untuk tanggap darurat dan 20% untuk pemulihan.

Saat ini respons pemerintah terhadap kebakaran hutan seringkali menempatkan uang di tempat yang salah. Padahal, para pekerja layanan darurat dan petugas pemadam kebakaran di garis depan yang mempertaruhkan hidup mereka untuk memerangi kebakaran hutan perlu didukung, kata direktur eksekutif UNEP Inger Andersen, dalam keterangan tertulis, Rabu, 23 Februari 2022.  

“Kita harus meminimalkan risiko kebakaran hutan ekstrem dengan menjadi lebih siap: berinvestasi lebih banyak dalam pengurangan risiko kebakaran, bekerja dengan komunitas lokal, dan memperkuat komitmen global untuk memerangi perubahan iklim, jelasnya.  Kebakaran hutan secara tidak proporsional memengaruhi negara-negara termiskin di dunia. Dampaknya mulai dari gangguan kesehatan akibat asap, kerugian ekonomi, dan kerusakan lingkungan.

Dengan dampak yang berlangsung selama berhari-hari, berminggu-minggu dan bahkan bertahun-tahun setelah api mereda, hal ini menghambat kemajuan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDGs) dan memperdalam kesenjangan sosial.  

Kebakaran hutan dan perubahan iklim saling terkait. Kebakaran hutan diperburuk oleh perubahan iklim melalui peningkatan kekeringan, suhu udara tinggi, kelembaban relatif rendah, kilat, dan angin kencang yang mengakibatkan musim kebakaran yang lebih panas, lebih kering, dan lebih lama.  

Pada saat yang sama, perubahan iklim diperburuk oleh kebakaran hutan, sebagian besar dengan merusak ekosistem sensitif dan kaya karbon seperti lahan gambut dan hutan hujan. Ini mengubah lanskap menjadi wilayah api, membuatnya lebih sulit untuk menghentikan kenaikan suhu. Satwa liar dan habitat aslinya jarang terhindar dari kebakaran hutan, mendorong beberapa spesies hewan dan tumbuhan mendekati kepunahan. Contoh terbaru adalah kebakaran hutan Australia 2020, yang diperkirakan telah memusnahkan miliaran hewan peliharaan dan liar.

Menurut laporan tersebut, ada beberapa solusi alami untuk mengendalikan kebakaran. Hal ini termasuk memulai kebakaran terkendali menggunakan pembakaran yang ditentukan, mengelola lanskap dengan menggembalakan hewan untuk mengurangi jumlah bahan yang mudah terbakar di lanskap, serta menebang pohon yang terlalu dekat dengan rumah penduduk.

Selain itu, harus ada lebih banyak sistem pemantauan berbasis sains yang dikombinasikan dengan pengetahuan tradisional dan kerja sama internasional yang lebih baik, menurut laporan tersebut.

Secara umum, para ahli percaya bahwa ekosistem yang lebih dekat ke khatulistiwa seharusnya memiliki kebakaran yang lebih terkontrol, dan yang lebih jauh seharusnya memiliki lebih sedikit. Pengecualian termasuk hutan tropis seperti Amazon, yang berada di garis khatulistiwa namun seharusnya memiliki sedikit kebakaran.

Kebakaran hutan telah memperburuk krisis iklim dengan menghancurkan ekosistem kaya karbon seperti lahan gambut, lapisan es dan hutan, membuat lanskap lebih mudah terbakar. Memulihkan ekosistem seperti lahan basah dan lahan gambut membantu mencegah terjadinya kebakaran dan menciptakan penyangga di lanskap.