Jelang Pengesahan RUU IKN, Walhi Sebut Banyak Dampak Merugikan

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Rabu, 19 Januari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) semakin mendekati pengesahan. Namun, organisasi pegiat lingkungan WALHI menyebut ada berbagai masalah yang belum tuntas di lokasi, mulai dari kerentanan konflik sosial hingga ancaman kerusakan lingkungan.

Seperti diketahui, konsultasi publik Pansus terakhir RUU PKN digelar pada Selasa, 11 Januari 2022, di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI) Safaruddin menyebut draf RUU Itu disahkan bulan ini. Aktivis dan mahasiswa pegiat lingkungan menggelar demonstrasi menyerukan penolakan selama konsultasi berlangsung. 

Manajer Kajian Kebijakan WALHI Satrio mengatakan, hasil studi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ibu kota negara baru menyebutkan tiga isu utama jika dipaksakan, yakni gangguan tata air dan risiko perubahan iklim, kerentanan flora dan fauna, serta pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

“Penetapan lokasi ibu kota negeri baru telah dilakukan terlebih dahulu secara politik tanpa adanya landasan hukum yang jelas dan tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,” kata Satrio keterangan yang diterima Betahita.

Pemerintah berencana menjadikan Teluk Balikpapan sebagai kawasan industri dan jalur laut dalam pembangunan ibu kota negara baru di Kalimantan Timur. Aktivis lingkungan khawatir ribuan hektare ekosistem mangrove di teluk tersebut terancam rusak. Foto: FWI

WALHI mencatat, saat ini sistem hidrologi (air tanah) di lokasi IKN baru tidak memadai. Wilayah tangkap air yang terganggu berisiko pencemaran air dan kekeringan. Ada juga masalah sumber air bersih yang tidak memadai sepanjang tahun. “Tingginya konsesi tambang di lokasi IKN juga berpengaruh terhadap sistem hidrologi. Secara ekonomi pun berdampak pada meningkatnya biaya ekonomi terhadap pemanfaatan air.” 

Dari sisi ancaman ekosistem, akan terjadi tekanan terhadap satwa liar yang berujung pada meningkatnya konflik antara satwa dan manusia. Ancaman serupa juga dikhawatirkan terjadi pada berbagai jenis flora dan fauna yang memiliki fungsi jasa ekosistem penting.

Pembangunan ibu kota negara juga akan mengancam keberadaan ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan seluas 2.603,41 hektare. Hal ini karena pemerintah berencana menyulapnya menjadi kawasan industri dan satu-satunya pintu masuk jalur laut ke IKN. Teluk ini juga akan dijadikan satu-satunya jalur logistik untuk menyuplai kebutuhan pembangunan ibu kota baru.

Akibatnya, lebih 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan akan terdampak serius. Jumlah tersebut terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, 2.984 nelayan di lima Kelurahan Maridan, Mentawir, Pantai Lango, Jenebora, Gresik dari Kabupaten Penajam Paser Utara, dan 1.253 nelayan dari Balikpapan. 

Selain itu ada juga masalah pencemaran minyak. Pada kasus sebelumnya, lokasi tersebut adalah yang terdampak dari pencemaran minyak tumpahan Pertamina.  

Tumpahan minyak, konsesi tambang, serta banyaknya lubang tambang yang tidak direklamasi kemudian meningkatkan risiko pencemaran pada air tanah, permukaan tanah, dan kawasan pesisir.

Selain itu, terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batu bara di atas wilayah total kawasan IKN seluas 180.000 hektare yang setara dengan tiga kali luas DKI Jakarta.

"WALHI melihat, kehadiran IKN semakin memperparah bencana ekologis dan merampas wilayah kelola rakyat. Banjir yang terjadi di wilayah ring I IKN tahun lalu juga mempertegas wilayah tersebut tidak layak berdasarkan KLHS menjadi lokasi IKN," kata Satrio.  

Konflik sosial juga rentan terjadi. Setidaknya terdapat 72 desa dan kelurahan yang tersebar di lokasi IKN. Penduduknya diperkirakan mencapai lebih dari 185.000 jiwa yang tersebar di delapan kecamatan.

Penduduk lokal akan terdampak atas datangnya sekitar 7.687 jiwa perpindahan pegawai lembaga pemerintah beserta keluarganya. “Ini akan menekan populasi masyarakat yang sebelulmya tinggal di sana. Problel sosial ini belum dilakukan kajian yang serius dan inklusif.

“Secara mendasar, ada masalah besar terkait formil dan materil dalam penetapan ibu kota negara. Tak hanya itu, ancaman lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, dan ruang hidup rakyat juga dipertanyakan,” tandas Satrio.