Cemari Lingkungan, Izin dan Operasi Tambang PT GMS Harus Diaudit

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Rabu, 22 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Ratusan warga Desa Sangi-Sangi dan Desa Ulu Sawa, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, terlibat bentrok dengan aparat kemamanan, saat aksi massa yang digelar di situs tambang nikel PT Gerbang Multi Sejahtera (GMS), Sabtu (18/9/2021) lalu. Aksi massa warga ini buntut dari pencemaran lingkungan yang dilakukan PT GMS. Sudah saatnya audit terhadap operasi tambang dan perizinan PT GMS dilakukan.

Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Melky Nahar menuturkan, operasi penambangan nikel oleh PT GMS, sesungguhnya telah menimbulkan beberapa kali pencemaran, terutama di Perairan Laonti, akibat aktivitas perusahaan yang berada tepat di bibir pantai. Bahkan warga sekitar juga sudah kerap melakukan protes.

Salah satunya penghadangan pengangkutan sejumlah alat berat perusahaan yang diangkut menggunakan tongkang oleh sekitar 300 warga nelayan Desa Tue-Tue yang hendak masuk ke desa mereka. Kala itu warga mengerahkan sekitar 30 perahu long boar bermesin untuk menghadang tongkang.

"Alat-alat berat itu dikawal ketat aparat bersenjata. Warga yang menghadang kemudian mendapat tindakan kekerasan dari aparat, satu di antaranya tertembak dan dilarikan ke Rumah Sakit di Kendari," kata Melky, Selasa (21/9/2021).

Tangkapan layar video amatir peristiwa bentrok massa aksi dengan aparat keamanan di jalan situs tambang PT GMS, Sabtu (18/9/2021).

Hingga 18 September 2021 kemarin, lanjut Melky, ratusan warga di Kecamatan yang sama, yakni dari Desa Sangi-Sangi dan Desa Ulu Sawa kembali melakukan protes di site tambang perusahaan. Sebabnya, pencemaran lingkungan oleh PT GMS telah membuat warga menderita, pendapatan nelayan berkurang drastis akibat laut, wilayah tangkap mereka, tercemar limbah material tambang. Pencemaran dimaksud adalah karamnya tongkang yang membawa ore nikel di pantai perairan Laonti pada Mei 2021 lalu.

"Parahnya, perjuangan panjang penolakan tambang warga di Laonti itu berhadapan dengan pemerintah yang bebal, masa bodoh, juga diperhadapakan pada brutalitas aparat keamanan. Sehingga tidak heran, warga yang protes dengan mudah ditangkap."

Menurut Melky, seharusnya DPRD mendorong pemerintah untuk menghentikan sementara aktivitas PT GMS, lalu lakukan audit seluruh perizinan dan operasinya. Dengan begitu, seluruh dugaan kejahatan lingkungan PT GMS akan mudah terlihat. Tinggal bagaimana mendorong penegakan hukum dan pemulihan.

"Tapi, sejak awal DPRD memang tidak bisa diandalkan. Makanya penting mendorong pemerintah pusat, terutama KLHK dan KKP untuk melakukan audit terhadap seluruh perizinan dan operasi dulu atas operasi perusahaan ini. Jika dia beroperasi dan menimbulkan daya rusak artinya bermasalah."

Lebih lanjut Melky mengatakan, pemerintah daerah masih punya peran dan tanggung jawab terhadap pertambangan, terutama untuk mengawasi operasional perusahaan yang telah berdampak buruk bagi rakyat dan ruang hidup. Peralihan kewenangan dari darah ke pusat yang diatur Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) sebagian besar hanya soal kewenangan penerbitan dan pencabutan izin.

"Payung hukumnya ada. Pemerintah daerah setempat hanya berkelit. Atau, jangan-jangan memang mendapat keuntungan dari perusahaan. Toh, amanat UU Minerba jelas soal kaidah pertambangan yang baik," ujar Melky.

Selain UU Minerba, pemerintah daerah juga dapat menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010, yang memuat pembinaan dan pengawasan pertambangan Minerba oleh menteri, gubernur, bupati atau walikota. Kemudian ada juga Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018 soal wewenang untuk menjatuhkan sanksi administrasi pada perusahaan yang melanggar, dan juga UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Sejumlah regulasi itu, jika dipakai perusahaan mendapat teguran, sanksi paksaan, pidana, denda, hingga pencabutan izin."

Massa Aksi Bentrok dengan Aparat Keamanan dan DPRD Provinsi Sultra akan Terbitkan Rekomendasi Penghentian Sementara Aktivitas PT GMS.

Sebelumnya Sabtu lalu ratusan warga Desa Sangi-Sangi dan Desa Ulu Sawa, Kecamatan Laonti, Konawe Selatan melakukan aksi unjuk rasa meminta PT GMS bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan perairan Laonti yang diakibatkan oleh aktivitas operasi pertambangannya. Tanggung jawab dimaksud salah satunya adalah berupa ganti rugi. Sebab pencemaran laut mengancam mata pencaharian warga nelayan.

Selain orasi penyampaian protes, aksi massa yang sebagian besar di antaranya diikuti oleh mahasiswa juga dilakukan dengan penutupan jalan di depan PT GMS. Bentrok warga dengan aparat keamanan terjadi lantaran pihak aparat keamanan menginstruksikan sopir mobil pengangkut ore nikel PT GMS menerobos massa aksi. Hal tersebut menyebabkan kericuhan.

Dalam video amatir yang tersebar di media sosial, terlihat terjadi saling dorong antara warga dan aparat keamanan yang berjaga. Terdengar pula beberapa kali letusan senjata api diduga berasal dari pihak kepolisian.

Dalam aksi itu tiga peserta aksi demonstrasi ditahan oleh pihak kepolisian. Ketiganya adalah Ketua Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND) dari Universitas Halu Oleo Kota Kendari Anhar, serta dua nelayan Erwin dan Abdul Basir.

"Aksi masyarakat tergabung dari dua desa yang terdampak, yaitu Sangi-sangi dan Desa Ulu Sawa yang mana mereka menuntut ganti rugi dampak lingkungan yang mereka alami," ujar salah seorang tokoh pemuda, Muh. Roy, seperti dikutip dari Sultrakini.com.

Peserta aksi lainnya, Ani Suriani mengatakan, permintaan ganti rugi telah warga sampaikan sejak 15 September 2021 kemarin, namun belum mendapat kejelasan dari pihak PT GMS. Ani bilang, mereka akan terus melakukan aksi sampai tuntutan ganti rugi itu dipenuhi oleh PT GMS.

Bahkan peserta aksi yang sebagian adalah ibu-ibu itu memutuskan bermalam di lokasi tambang dengan beralaskan terpal dan alat seadanya. Hingga Minggu (19/9/2021), warga masih menduduki lahan PT GMS dan melakukan penutupan jalan perusahaan hingga tututan dipenuhi.

Di hari yang sama, sejumlah anggota DPRD Sultra melakukan kunjungan kerja ke PT GMS. Kunker ini adalah tindak lanjut dari hasil rapat dengar pendapat yang digelar beberapa pekan sebelumnya. Yang mana berdasarkan rapat dengar pendapat diketahui bahwa telah terjadi pencemaran lingkungan perairan oleh PT GMS.

"Pihak DLHK melihat bahwa memang terjadi pencemaran lingkungan di sekitaran jeti PT GMS," kata Wakil Ketua Komisi III DPRD Sultra, Aksan Jaya Putra, yang datang bersama pihak DLHK Sultra, Minggu (19/9/2021) dikutip dari Sultrakini.com.

Aksan mengatakan, Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan telah menerbitkan izin lingkungan, namun dilanggar oleh pihak perusahaan. Aksan bilang, PT GMS terbukti banyak melakukan pelanggaran sehingga pihaknya akan menerbitkan surat rekomernasi penghentian sementara aktivitas PT GMS.

Untuk diketahui PT GMS sendiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan nikel. Lokasi tambang perusahaan terletak di Desa Wia-Wia Kecamatan Laonti, dengan areal tambang seluas 2.301 hektare. PT GMS mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dari Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan pada 2007. Sedangkan IUP Operasi Produksinya dikeluarkan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Provinsi Sultra pada 2018 lalu, dengan nomor SK. 582/DPM-PTSP/VII/2018, IUP Operasi Produksi itu berlaku hingga 2028 mendatang.

PT GMS diketahui tidak memiliki smelter atau fasilitas pemurnian di areal pertambangannya. Namun berdasarkan dokumen yang diterbitkan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, PT GMS tercatat sebagai salah satu pemegang rekomendasi persetujuan ekspor untuk pembangunan smelter PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) yang pembangunannya telah selesai tahun ini.