Pemerintah Diminta Patuhi Rekomendasi UNESCO Soal TN Komodo

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Senin, 09 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Setidaknya terdapat dua rekomendasi yang diberikan oleh (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) UNESCO kepada Pemerintah Indonesia dalam Draft Decision nomor 44 COM 7B.93 yang telah diadopsi dalam sidang tersebut, terkait proyek-proyek infrastruktur pariwisata di Taman Nasional (TN) Komodo. Pemerintah Indonesia diminta untuk mematuhi rekomendasi yang diberikan UNESCO tersebut.

Rekomendasi UNESCO tersebut, pertama, UNESCO mendesak Indonesia untuk menghentikan proyek-proyek infrastruktur pariwisata di dalam dan sekitar lokasi TN Komodo, yang memiliki potensi dampak pada nilai Outstanding Universal Value (OUV) sampai revisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diserahkan dan ditinjau oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Kemudian yang kedua, UNESCO meminta Indonesia untuk mengundang World Heritage Centre atau IUCN guna memantau secara langsung dampak lingkungan yang terjadi akibat pembangunan serta meninjau status konservasi dari TN Komodo.

Peringatan UNESCO kepada pemerintah Indonesia menjadi kabar baik bagi TN Komodo, karena dalam beberapa tahun belakangan kawasan habitat asli Komodo ini terus diancam oleh model-model pembangunan yang berdampak buruk bagi konservasi, ekonomi pariwisata berkelanjutan serta ruang penghidupan bagi warga setempat. Merespon peringatan dari UNESCO kepada Pemerintah Indonesia para pegiat konservasi dan pemerhati lingkungan menyampaikan beberapa rekomendasi kepada Pemerintah.

Truk yang sedang membawa alat berat pembangunan kawasan wisata di Pulau Rinca, NTT, bertemu komodo, Oktober 2020 (Twitter/kawanbaikkomodo)

Pertama, meminta Pemerintah Indonesia untuk mengikuti seluruh rekomendasi UNESCO terkait dengan pembangunan yang tengah berjalan di TN Komodo, secara khusus di Pulau Rinca serta bersama publik dan UNESCO mengevaluasi seluruh rencana pembangunan infrastruktur wisata di dalam kawasan TN Komodo.

Kedua, meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk mencabut seluruh izin konsesi perusahaan-perusahaan swasta serta menghentikan proses pengurusan konsesi perusahaan-perusahaan yang lain. Bersamaan dengan itu, hentikan seluruh proses perubahan zonasi dalam kawasan Taman Nasional Komodo yang makin membuka ruang bisnis bagi perusahaan-perusahaan swasta.

Ketiga, meminta Pemerintah Indonesia untuk mengutamakan program-program konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem di TN Komodo yang berbasis pada sains dan masyarakat lokal.

Keempat, meminta Pemerintah Indonesia untuk menghargai serta mendorong keterlibatan warga dalam kawasan TN Komodo sebagai agen konservasi dan pelaku wisata komunitas serta menghargai kebudayaan masyarakat bahari yang sejalan dengan prinsip-prinsip konservasi.

Terakhir kelima, meminta Pemerintah Indonesia untuk tidak merelokasi masyarakat lokal dan usahanya dari Pulau Komodo.

Dalam dua dekade terakhir, pariwisata massal, penyelundupan komodo dan daging rusa serta pencurian terumbu karang terjadi dan telah memperburuk keberlangsungan konservasi dan ekosistem di TN Komodo. Alih-alih menyelesaikan masalah yang ada, pemerintah malah memprioritaskan investasi yang berpotensi memperburuk keadaan.

"Peringatan UNESCO ini bak vaksin di tengah virus investasi yang belakangan ini menghancurkan konservasi, pariwisata warga dan ruang penghidupan warga dalam kawasan Taman Nasional Komodo," kata Venan Haryanto, Peneliti Sunspirit for Justice and Peace Flores, dalam sebuah konferensi pers, Kamis (5/8/2021) lalu

Dalam kesempatan sama, Pemuda Ata Modo, Akbar Al Ayyubi mengatakan, rekomendasi peringatan yang diberikan UNESCO kepada Pemerintah Indonesia itu merupakan dukungan moral yang kuat untuk keselamatan dan keberlangsungan konservasi di TN Komodo.

"Dengan intervensi langsung dari UNESCO, ini merupakan awal yang baik untuk menghindari segala upaya-upaya pengrusakan di dalam wilayah konservasi khususnya satwa komodo dan Ata Modo sebagai masyarakat lokal yang lama mendiami dan merawatnya dengan kebudayaan konservasi adat," kata Akbar.

Sejak perubahan zonasi pada 2012 lalu, Pemerintah membuka keran bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk membangun resort-resort eksklusif di dalam kawasan TN Komodo. Sejauh ini, Pemerintah tengah memberi izin konsesi kepada tiga perusahaan, yaitu PT Sagara Komodo Lestari di Pulau Rinca (22,1 Hektare), PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar (274,13 Hektare) dan Pulau Komodo (151,94 hektare), dan PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa (15,32 Hektare). Pemerintah juga tengah mengurus perizinan dari PT Flobamora, BUMD milik Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Nur Hidayati berpendapat, model pembangunan yang sedang direncanakan oleh pemerintah di TN Komodo tersebut merupakan model komodifikasi alam yang didominasi oleh bisnis besar dengan mengotak-atik zonasi yang ada. Bisnis seperti ini menurutnya akan terus menempatkan masyarakat adat yang sudah lama menetap di sana dan hidup berdampingan bersama komodo bukan sebagai pewaris utama.

"Kalau ingin mengembangkan pariwisata berbasis konservasi di TN Komodo itu adalah suatu keharusan bagi pemerintah melibatkan masyarakat sebagai aktor utamanya. Terutama masyarakat Ata Modo yang selama ini memang sudah berdiam di sana, sangat memahami situasi di sana," ujar Nur Hidayati.

Tak hanya itu, sebagai bagian dari upaya mendorong investasi pariwisata Labuan Bajo sebagai salah satu dari 10 Bali Baru, Pemerintah juga sedang dan akan membangun beberapa fasilitas/sarana-prasarana wisata yang sangat berdampak buruk bagi konservasi. Di Pulau Rinca, Pemerintah tengah membangun sarana-prasarana wisata alam dengan jalan betonisasi.

Desain pembangunan ini sangat merusak bentang alam setempat serta citra wisata alam di TN Komodo. Sebagai bagian dari pembangunan itu, di Pulau Padar Pemerintah juga akan membangun kuliner dan dermaga kelas premium.

Sementara itu, sebagai bagian dari upaya menjadikan Pulau Komodo sebagai destinasi eksklusif dengan tiket USD1.000, Pemerintah memiliki wacana untuk merelokasi warga Komodo. Rencana ini dinilai sangat tidak menghargai keberadaan warga asli Pulau Komodo sebagai pewaris adat setempat serta peran mereka sebagai agen utama dari konservasi dan pelaku wisata berbasis komunitas.

Anggota Komisi IV DPR RO Yohanis Fransiskus Lema, atau biasa disapa Ansy Lema, yang hadir pula dalam konferensi pers itu menuturkan, pembahasan terkait TN Komodo diharapkan lebih domonan berorientasi pada konservasi ekosistem dan pemberdayaan masyarakat adat yang hidup di pulau itu.

"Kalau kita bicara soal Taman Nasional Komodo, perspektif yang dominan mestinya konservasi, bukan investasi oleh korporasi," kata Ansy Lema.

Lebih lanjut, Ansy Lema mengatakan, konservasi tidak hanya soal menjaga satwa endemik komodo, melainkan juga tentang ekosesistem secara keseluruhan dan pemberdayaan masyarakat adat yang ada di wilayah tersebut. Ansy juga menegaskan, proyek pembangunan pariwisata berorientasi massal yang dibangun di TN Komodo haruslah memiliki regulasi yang ketat.