Polemik Vaksinasi COVID-19 dan Masyarakat Adat

Penulis : Tim Betahita

Lingkungan

Selasa, 27 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Laporan Eksklusif dari DW Indonesia dengan apik mengungkap dari sekitar 17 juta warga adat, kurang dari 1% yang sudah divaksin. Tidak adanya KTP jadi kendala birokrasi di tengah urgensi pandemi COVID-19. Polemik vaksinasi di Indonesia makin menjadi.

Pada awal Juli 2021 telah wafat Dolfintje Gaelagoy atau Mama Do, tokoh komunitas adat Marafenfen yang dikenal atas keberaniannya melawan konsesi perkebunan gula di Kepulauan Aru, Maluku. Kepergian Mama Do menambah panjang daftar tokoh masyarakat adat yang meninggal akibat COVID-19.

"Vaksinasi menjadi urgent sekali saat ini karena kampung-kampung adat tidak bisa lagi melindungi warganya dari paparan COVID-19," kata Devi Anggraini, Ketua Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (Perempuan AMAN), organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). "Kami telah kehilangan banyak pemimpin perjuangan di kampung-kampung."

Setiap warga negara memiliki hak untuk sehat dan aman dari ancaman virus corona, tetapi akses untuk mendapatkan vaksin COVID-19 masih sangat di luar jangkauan mayoritas masyarakat adat. Dari sekitar 17 juta jiwa anggota masyarakat adat, kurang dari 1% sudah divaksinasi COVID-19, menurut Devi.

Ilustrasi vaksin Covid-19. Foto: Reuters

Ia mengungkapkan bahwa masyarakat adat teralienasi dari program vaksinasi pemerintah karena pendistribusian vaksin COVID-19 diprioritaskan di kota-kota besar dan kebanyakan jatah vaksin dialokasikan untuk pengurus desa di tempat masyarakat adat tinggal.

Menurut Devi, meskipun kampung-kampung adat berada di dalam desa, kebanyakan kampung tersebut belum diakui secara administratif sebagai bagian dari wilayah desa karena sebagian besar warga adat belum punya kartu tanda penduduk (KTP).

Akibatnya, mereka tidak terdaftar di dalam data kependudukan, dan tidak bisa mendaftar vaksinasi karena program berskala nasional ini mensyaratkan warga menunjukkan KTP.

"Kebanyakan informasi tentang akses vaksinasi juga disampaikan secara daring, dan kesenjangan teknologi menyebabkan masyarakat terkesklusi dari proses tersebut," kata Devi kepada DW Indonesia.

Rentan terinfeksi, fasilitas kesehatan kurang

Menurut Devi, warga adat sangat rentan terinfeksi COVID-19 dari orang luar yang masuk ke wilayahnya. Mereka tidak bisa menolak kedatangan orang-orang karena sebagian dari wilayah adat telah menjadi bagian dari area konsesi perusahaan swasta dan proyek strategis pemerintah yang mayoritas memperkerjakan orang-orang dari luar perkampungan mereka.

Di kabupaten Barito Timur di Kalimantan Tengah, misalnya, Perempuan AMAN menerima laporan bahwa sebagian orang yang terlibat di dalam proyek konsesi dan pembangunan sering keluar masuk kampung adat untuk memancing dan mencari hiburan.

Akibatnya, transmisi virus menjadi tidak terhindarkan karena orang-orang dari luar wilayah adat tersebut ternyata telah terpapar virus walaupun gejalanya tidak tampak. "(Masyarakat adat) tidak mungkin bisa mengunci diri (dari interaksi dengan orang luar). Apalagi mereka sudah tidak punya lagi akses pada tanah adat mereka," kata Devi.

Masalah lebih serius dihadapi oleh masyarakat adat di daerah-daerah terpencil karena kawasan ini belum tentu memiliki fasilitas kesehatan.

Jikalau ada fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan belum tentu ada di masa pembatasan kegiatan masyarakat, kata Devi. Ia menjelaskan, kebijakan tersebut telah membatasi ruang gerak tenaga kesehatan menuju fasilitas kesehatan di kampung adat sehingga mereka tidak bisa melayani masyarakat adat, termasuk mensosialisasikan bahayanya pandemi COVID-19 dan pentingnya vaksinasi.

Pemerintah perlu jemput bola

Devi berpendapat pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan afirmasi dengan memberikan perlakuan khusus kepada masyarakat adat, misalnya seperti memungkinkan warga adat untuk divaksinasi tanpa harus menunjukkan KTP.

"Akses vaksinasi seharusnya dibuka untuk masyarakat adat selebar-lebarnya tanpa perlu ada persyaratan KTP, sepanjang ketua adatnya atau pengurus kampungnya bisa menyatakan bahwa (yang meminta vaksin) adalah memang betul warganya," ujarnya.

Jika masyarakat adat tinggal di daerah terpencil, pemerintah perlu proaktif dengan mengirimkan petugas kesehatan ke kampung adat untuk memvaksinasi mereka, bukan justru menunggu dan mengharapkan mereka datang berbondong-bondong berjalan kaki berhari-hari menuju ke tempat vaksin karena ini bisa menciptakan kerumunan baru di dalam perjalanan.

Menurut Devi, pendekatan jemput bola juga perlu dilakukan terhadap masyarakat-masyarakat adat yang selalu menutup diri dari aktivitas dunia luar, seperti Badui Dalam, Kajang Dalam, dan Tobelo Dalam.

"(Untuk mendekati masyarakat adat yang secara khusus mengisolasi dirinya) diperlukan cara-cara khusus, yakni cara-cara yang pendekatannya harus sensitif dengan budaya yang ada di masyarakat," ujarnya.

Sosiolog: masyarakat adat butuh pendekatan khusus

Senada dengan Devi Anggraini, Daisy Indira Yasmine, sosiolog dari Universitas Indonesia, setuju bahwa masyarakat adat sebaiknya tidak perlu menunjukkan KTP sebagai syarat untuk mendapatkan akses vaksinasi.

"Harus ada pendekatan khusus (untuk masyarakat adat). Tidak boleh sama rata. Perlu diingat bahwa virus corona tidak mengenal KTP. Setiap manusia bisa terinfeksi, dan orang lain kemudian bisa tertular," kata Daisy kepada DW Indonesia.

Ia mengingatkan pemerintah bahwa masyarakat adat merupakan bagian dari Indonesia. Karena akar masalahnya ialah penyebaran virus yang semakin tak terkendali, pemerintah sebaiknya perlu fokus pada upaya memvaksinasi masyarakat adat untuk melindungi mereka, bukan mempersoalkan hal-hal yang bersifat administratif seperti KTP.

Daisy berpendapat bahwa pemerintah juga perlu menjalin kerja sama dengan aktor nonnegara seperti AMAN karena organisasi sipil ini bisa menjadi agensi yang dapat menjembatani komunikasi, kerja sama, dan negosiasi antara pemerintah dan masyarakat adat. "Dialog sangat dibutuhkan."

Pemerintah, misalnya, bisa mengajak AMAN dalam mendistribusikan vaksin sehingga pemerintah bisa mendapatkan data yang akurat mengenai warga adat sehingga pemerintah tidak salah dalam menentukan lokasi vaksinasi dan menilai siapa saja yang layak masuk dalam kategori rentan dan sangat membutuhkan.

"Anggota AMAN juga bisa menjadi pendamping yang tugasnya ialah menjelaskan ke masyarakat adat tentang apa itu virus corona dan seberapa penting vaksinasi," kata Daisy. "Mereka belum tentu loh paham hal tersebut. (Tenaga kesehatan) tidak boleh tiba-tiba datang ke kampung adat dan kemudian langsung suntik."