Wakil Rakyat Pertanyakan Capaian Program Perhutanan Sosial

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Rabu, 03 Februari 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perhutanan Sosial menjadi salah satu isu yang hangat dibicarakan dalam Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senin (1/2/2021). Anggota Komisi IV DPR RI Yohanis Fransiskus Lema menilai Program Perhutanan Sosial KLHK memiliki nilai keberpihakan yang jelas kepada masyarakat, khususnya yang hidup di sekitar hutan.

Menurut politisi PDI Perjuangan tersebut, perhutanan sosial dapat mencegah konflik perhutanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, Yohanis Fransiskus Lemameng memberikan evaluasi. Karena dari target 12,7 juta hektare lahan untuk Perhutanan Sosial, yang terealisasi saat ini baru mencapai 34 persen saja.

"Ini sudah tahun keenam, kok capaiannya masih sekitar 34 persen. Apa kira-kira kendalanya? Apakah mungkin bisa diakselarasi program ini sangat penting dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar hutan?" tanya Yoharis, dalam raker yang digelar di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (1/2/2021).

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Budisatrio Djiwandono, berharap dengan adanya evaluasi ini dapat mengakselarasi Program Perhutanan Sosial dengan mengevaluasi setiap kendala.

Anggota Komisi IV DPR RI Yohanis Fransiskus Lema dalam Rapat Kerja dengan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (1/2/2021)./Foto: Runi/Man/DPR RI

"Semua ini sama-sama ingin akselerasi program ini. Siapa tahu bisa berkolaborasi untuk mengindentifikasikan komunitas di sekitar kawasan hutan untuk bisa mempercepat Program Perhutanan Sosial. Kita ingin mempercepat bahwa andaikan ada kendala itu tidak masalah," kata Budisatrio.

Berdasarkan data yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Siti Nurbaya, pada raker kemarin, realisasi Perhutanan Sosial hingga Desember 2020 baru sebesar kurang lebih 4.417.937,72 hektare, dari total target 12 juta hektare. Dengan jumlah izin atau hak yang diterbitkan sebanyak 6.798 unit surat keputusan (SK). Yang diberikan kepada 895.769 Kepala Keluarga (KK).

Sementara, untuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang telah terbentuk sampai dengan 12 Desember 2020, berjumlah 7.514 kelompok. Siti Nurbaya mengatakan, Presiden Jokowi memerintahkan semua menteri terkait, yang dikoordinir oleh Menteri Maritim dan Investasi, untuk membuat KUPS yang sudah terbentuk menjadi berhasil.

"Bukan hanya mendapat SK saja. Tapi juga harus benar-benar beraktualisasi dan menghasilkan ekonomi bagi dirinya dan bagi wilayah," kata Siti Nurbaya, dalam rapat.

Khusus untuk Hutan Adat yang merupakan bagian dari Perhutanan Sosial, saat ini telah ditetapkan seluas 56.903 hektare. Dengan jumlah SK yang diterbitkan sebanyak 75 unit yang tersebar di 28 kabupaten di 15 wilayah provinsi. 75 unit SK itu diberikan bagi 39.371 KK.

Kemudian, untuk Wilayah Indikatif Hutan Adat, luasnya tercatat sebesar 1.090.754 hektare, tersebar di 19 provinsi. Mengenai Hutan Adat ini, Siti Nurbaya berujar, relatif sulit untuk langsung melepaskan izin kepada masyarakat hukum adat. Karena harus ada peraturan daerah yang menyatakan tentang identitas masyarakat hukum adat itu sendiri.

Oleh karena itu, lanjut Siti, kami mengambil langkah terobosan bekerja bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan masyarakat sipil lainnya yang fokus pada persoalan Hutan Adat. Caranya, dengan menampung usulan penetapan Hutan Adat yang masuk atau diterima BRWA dan masyarakat sipil.

"Mereka punya daftar usulan sampai 10 juta hektare lebih dan kita verifikasi kurang lebih 6 juta hektare hutan adat itu sambil terus berlangsung. Dari verifikasi ini sudah ketahuan sehingga kita menyebutnya Wilayah Indikatif Hutan Adat."

Dengan sudah ditetapkan sebagai Wilayah Indikatif Hutan Adat, imbuh Siti, maka tidak mungkin lagi untuk peruntukan lain di wilayah tersebut. Namun untuk penyerahan kepada masyarakat adat, harus menunggu adanya perda yang diterbitkan oleh pemerintah daerah masing-masing.

"Tapi dengan posisi ini masyarakat sudah bisa bekerja dan memanfaatkan dan lain-lain."