Bencana Sumatera: Habis Hutan, Sengsara Terbilang

Penulis : Aryo Bhawono

Deforestasi

Selasa, 02 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Analisis berbagai organisasi pegiat lingkungan menunjukkan habisnya hutan menjadi biang dominan atas bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Mereka mendesak pertanggungjawaban pemerintah, selaku pemangku kebijakan, dan korporasi, selaku penerima keuntungan terbesar atas habisnya hutan di Sumatera.  

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada 25-27 November lalu menyebabkan 442 orang jiwa meninggal, 402 orang hilang, dan 156.918 jiwa terpaksa mengungsi. Bencana yang dipicu oleh siklon tropis senyar ini memporakporandakan tiga provinsi di Sumatera yang berdekatan dengan semenanjung Malaysia.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, faktor dominan dampak bencana ini terjadi karena perubahan bentang ekosistem penting seperti hutan, dan diperparah oleh krisis iklim. 

Catatan mereka menunjukkan pada periode 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang telah terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), geotermal, izin PLTA dan PLTM. 

Pencarian korban oleh BPBD, Sapol PP dan polisi pascabencana galodo di salareh aia dan nagari Salareh Aia timur, Kabupaten Agam, Sumbar beberapa waktu lalu. Foto: BPBD Kabupaten Agam

Bencana di tiga provinsi ini bersumber dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang berhulu di bentang hutan Bukit Barisan. Bencana paling parah di Sumatera Utara misalnya melanda wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga. 

Foto citra Satelit (2024) lokasi pertambangan PT Agincourt Resourches yang bersebelahan dengan pembangunan PLTA Batang Toru. Data: Walhi Sumut

Ekosistem Batang Toru mengalami deforestasi sebesar 72.938 ha pada rentang 2016-2024 akibat operasi 18 perusahaan. 

Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara, Riandra, menyebutkan wilayah yang paling kritis adalah Tapanuli Tengah, Sibolga dan Tapanuli Selatan yang hulunya ada di ekosistem Batang Toru. Delapan tahun terakhir lembaganya mengkritisi kebijakan pemberian izin pemerintah di Batang Toru. 

PLTA Batang Toru misalnya, selain akan memutus habitat orang hutan dan harimau, juga merusak badan-badan sungai dan aliran sungai yang menjadi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Selain itu juga pertambangan emas yang berada tepat di sungai Batang Toru. 

“Desa-desa lain di kecamatan Sipirok juga ada aktivitas kemitraan kebun kayu dengan PT Toba Pulp Lestari yang akhirnya mengalihfungsikan hutan. Semua aktitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang,” kata dia.

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, mengungkap analisis yang sama secara terpisah. Ekosistem Batang Toru dikepung berbagai megaproyek ekstraktif seperti tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources, PLTA Batang Toru, PLTMH Pahae Julu, PT SOL yang mengoperasikan geotermal, perusahaan kertas PT Toba Pulp Lestari serta perkebunan kelapa sawit PT Sago Nauli dan PTPN III Batang Toru.

Data Satya Bumi menunjukkan konsesi PT Agincourt Resources seluas 130.252 ha. Sebanyak 40.890,60 ha di antaranya tumpang-tindih dengan kawasan ekosistem Batangtoru yang merupakan rumah Orangutan Tapanuli. Lahan konsesi seluas 30.630 ha juga tumpang tindih dengan hutan lindung di Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. 

Sementara dari keseluruhan luas ratusan ribu hektare itu, Agincourt telah membuka 603,21 ha di antaranya hingga Oktober 2025. Perusahaan berencana membuka 195 ha lagi untuk membangun fasilitas penampung limbah atau tailing management facility (TMF).

“Yang paling mengkhawatirkan adalah TMF dibangun di hulu sungai DAS Nabirong dan berpotensi menyebar ke DAS Batangtoru. Selain itu, Martabe dibangun di daerah dengan aktivitas kegempaan tinggi” kata Andi.

Citra satelit wilayah konsesi Tambang Emas Martabe di Batang Toru. Nampak kedua wilayah ini berdekatan dan berada dalam kawasan dua Daerah Aliran Sungai yang juga berdekatan: DAS Nabirong dan DAS Batang Toru. Data: Satya Bumi

Ia mendesak audit aktivitas ekstraktif di landscape Batangtoru, termasuk tambang PT Agincourt dan PLTA Batangtoru. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang diolah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan sekurang-kurangnya terdapat 1.907 izin usaha pertambangan mineral dan batu bara aktif dengan total luas 2,45 juta hektare di pelbagai wilayah Sumatera. Berdasarkan analisis citra satelit menggunakan Nusantara Atlas, JATAM memproyeksi deforestasi selama satu tahun terakhir yang diakibatkan aktivitas Agincourt saja telah seluas 739 hektare.

Kerusakan DAS di Aceh dan Sumbar

Sedangkan Walhi Aceh mencatat kerusakan DAS di provinsi ujung barat Indonesia itu. Provinsi itu memiliki 954 DAS, sebanyak 60 persen dalam kawasan hutan dan 20 DAS kritis. 

DAS Krueng Trumon seluas 53.824 ha. Sejak 2016-2022, DAS Krueng Trumon mengalami kehilangan tutupan hutan sebesar 43 persennya. Saat ini tutupan hutan tersisa sekitar 30.568 ha atau sekitar 57 persen. 

DAS Singkil sebagaimana yang ditetapkan pemerintah berdasarkan SK 580 seluas   1,241,775 ha. Namun sisa tutupan hutan pada 2022 hanya 421,531 hektar. Artinya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mengalami degradasi tutupan hutan di DAS Singkil seluas 820,243 ha, 66 persen. 

DAS Jambo Aye seluas 479.451 ha mengalami kerusakan seluas 44,71 persen, DAS Peusangan seluas  245.323 mengalami kerusakan 75,04 persen, DAS Krueng Tripa seluas 313.799 kerusakan 42,42 persen, dan DAS Tamiang seluas 494.988 mengalami kerusakan 36.45 persen. 

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Ahmad Solihin, mengatakan banjir yang melumpuhkan sedikitnya 16 kabupaten di Aceh memberikan satu pesan keras, bahwa alam tidak lagi mampu menahan beban kerusakan yang dipaksakan manusia. Menurutnya bencana kali ini bukan hanya fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi ekstraktif yang rakus ruang. 

“Banjir berulang ini sebagai hasil akumulasi dari deforestasi, ekspansi sawit, hingga Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang dibiarkan merajalela. Pemerintah gagal menghentikan kerusakan di hulu dan terjadi pembiaran, justru terpaku pada solusi tambal sulam di hilir seperti pembuatan tebing sungai dan normalisasi sungai,” kata dia.  

Tumpang susun konsesi izin dan deforestasi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat (2016-2024).

Walhi Sumbar mencatat kerusakan di hulu DAS Aia Dingin. DAS ini merupakan salah satu DAS administratif penting di Kota Padang dengan luas 12.802 ha. Secara topografis, kawasan hulu DAS memiliki kelerengan datar hingga terjal, dengan bagian hulu berada di wilayah Kawasan Hutan Konservasi Bukit Barisan yang seharusnya berfungsi sebagai benteng ekologis utama. Namun, kawasan terdegradasi cukup parah akibat tekanan aktivitas manusia. 

Rentang 2001 hingga 2024, DAS Aia Dingin kehilangan 780 ha tutupan pohon, mayoritas deforestasi terjadi di wilayah hulu, yang memiliki peran vital dalam meredam aliran permukaan dan mencegah banjir bandang. 

Andre Bustamar dari Walhi Sumbar menyatakan penyebab bencana di Sumbar diakibatkan oleh akumulasi krisis lingkungan karena gagalnya pemerintah dalam melakukan pengelolaan SDA. Deforestasi, pertambangan emas ilegal, lemahnya penegakan hukum menjadi biang bencana ekologis di provinsi itu. Fenomena tunggul-tunggul kayu yang hanyut terbawa arus sungai menunjukkan adanya aktivitas penebangan di kawasan hulu DAS. 

“Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik eksploitasi hutan masih berlangsung dan menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko bencana ekologis. Bencana ekologis yang terjadi di Sumbar menempatkan Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Sumbar sebagai aktor yang paling bertanggung jawab melindungi masyarakatnya dari resiko bencana,” kata dia. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) menyebutkan peralihan fungsi hutan menjadi pertambangan dan perkebunan sawit menekan kemampuan DAS untuk memperlambat aliran air. Kerusakan DAS di Sumatera turut diperparah mekanisme Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) yang meloloskan alih fungsi hutan lindung menjadi ruang ekstraksi. Hingga November 2025, tercatat 271 PPKH seluas keseluruhan 53.769,48 ha di Sumatera.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan fakta ini menunjukkan penyebab bencana ekologis yang terjadi adalah pengurus negara dan korporasi. Pemerintah, selaku pengurus negara seharusnya mengevaluasi seluruh izin perusahaan yang ada di Indonesia, khususnya di ekosistem penting dan genting. 

Jika harus dilakukan pencabutan izin, maka hal itu harus dilakukan. Apalagi Menteri Kehutanan menjanjikan evaluasi. 

“Jangan hanya berjanji di tengah ratusan ribu orang yang tengah berduka di Sumatera,” ucapnya. 

Selain itu korporasi juga mesti bertanggung jawab dan ditagih untuk menanggung biaya eksternalitas dari bencana yang terjadi. 

“Menurut kami negara juga harus menagih tanggung jawab korporasi untuk memulihkan ekosistem yang telah mereka rusak. Mereka telah menikmati keuntungan besar dari eksploitasi alam, saatnya mereka juga ditagih tanggungjawab untuk memulihkannya,” kata dia.